Hari ini saya kembali diingatkan oleh-Nya, tak ada hamba yang luput dari ujian-Nya. Mungkin juga setiap hamba akan merasakan susah yang tingkatan beratnya bagi masing-masing orang setara, dalam bentuk yang berbeda-beda.
Ibu saya adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara yang seayah seibu, namun anak ke-12 dari 12 bersaudara se-ibu lain ayah, dan anak ke sekian dari sekian bersaudara seayah lain ibu. Ibu saya lahir di dunia yang kala itu masih menganut kuat budaya leluhur bahwa seorang wanita seharusnya tumbuh menjadi seorang ibu rumah tangga (tidak bekerja di kantoran) yang baik, sehingga dididiklah beliau dan saudara-saudara perempuan yang se-ibu sedari kecil hingga dewasa untuk belajar menjadi ibu, mengurus rumah, bercocok tanam, memasak, menjahit, membaca, menulis, dan belajar agama. Ibu saya yang ingin menjadi guru pun dilarang, dan disekolahkan ke pondok bukan ke sekolah guru. Maka jadilah ibu saya yang sekarang, seorang ibu rumah tangga cekatan, telaten, seorang qiro'ah, idola suami dan anak-anaknya. Beliau menikah dengan ayah saya yang kala itu sudah menjadi polisi dan merintis hidup mandiri, dari bawah. Saya selalu ingat cerita ibu saya bagaimana beliau mengatur keuangan keluarga dan berdagang, hijrah dari desa tempatnya dilahirkan ke kota kecil, hingga akhirnya bisa memiliki sendiri rumah hasil kerja keras berdua dengan ayah saya. Saking banyaknya potongan-potongan cerita ibu, membuat saya bisa membayangkan garis besar keseluruhan cerita dalam hidupnya. Betapa pahitnya terlahir di keluarga poligami dan lingkungan yang belum mendukung kesetaraan gender, hingga beratnya masa-masa awal setelah ibu menikah, membuat ibu selalu menomorsatukan keutuhan keluarga kecil kami dan memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. "Walaupun perempuan, kamu harus bisa kerja, jangan bergantung pada suamimu" nasehat seperti ini sering sekali saya dengar. Hingga akhirnya anak pertama nya berhasil menjadi sarjana teknik mesin dan bekerja di bidang perminyakan sementara saya adiknya menjadi apoteker.
Ayah saya terlahir di salah satu daerah di pesisir Jawa yang sempat menjadi target penyerangan PKI bertahun-tahun yang lalu ketika beliau masih berumur belasan tahun. Akibat penyerangan itu, ayah dan saudara-saudara kandung serta nenek saya harus terpisah-pisah merantau ke daerah ataupun kota-kota lainnya demi menyelamatkan diri masing-masing. Alhamdulillah beliau dibesarkan di tanah pasundan oleh pamannya. Lulus SMA, ayah nekat merantau kembali ke Jawa Tengah, mendaftarkan diri sebagai
polisi, hanya berbekal nekat. Takdir Allah, beliau berhasil menjadi polisi. Sebagai wujud rasa syukurnya itulah beliau selalu berusaha menjaga amanah dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Saya terlahir di dunia yang berbeda. Di dunia modern di mana kesetaraan gender sudah menjadi hal yang biasa. Wanita bekerja bukan hal yang pamali lagi. Saya ditumbuhkan dalam keluarga yang utuh, lingkungan yang baik, dan disekolahkan ke sekolah-sekolah terbaik. Saya menikah dengan seorang insinyur dan mencoba merintis hidup mandiri namun seringkali gagal mandiri karena betapa baiknya keempat orang tua kami sehingga sering memberikan kami hadiah selain doa, entah berupa materi maupun perhatian, waktu dan tenaga, yang jauh lebih besar nilainya dari apa yang didapatkan oleh ibu sewaktu muda dulu dan lingkungan yang jauh lebih kondusif daripada masa muda ayah. Betapa hidup saya berjalan nyaris mulus. Bisa dibilang begitu.
Kini saya harus hidup merantau bersama suami dan anak kami di negeri orang. Negeri yang sangat jauh, 17 jam perjalanan udara. Negara dengan standar hidup luar biasa. Regulasi yang ketat berhasil membuat pasar menawarkan barang dan jasa dengan standar kualitas yang tinggi dan tentunya harga yang sama sekali tidak menarik. Kami hidup dengan beasiswa studi suami saya yang jumlahnya selalu diragukan oleh pemerintah negeri ini akan bisa menghidupi kami sekeluarga. Nyatanya, meskipun mungkin terlihat sederhana dibanding orang-orang lain di sini, kami tetap makan nasi dengan kualitas beras yang sama seperti yang kami makan di Indonesia, Alhamdulillah magic com kami belum pernah kosong kecuali sewaktu kelupaan menanak nasi atau memang ingin makan yang lain. Alhamdulillah anak bisa minum susu 2 gelas sehari, lauk, sayur dan buah juga tak lupa hadir di meja makan untuk sekeluarga kecuali kami lupa untuk belanja. Kami bisa menabung dan sesekali jalan-jalan. Kami sehat dan bahagia. Alhamdulillah nikmat yang luar biasa dianugerahkan oleh Allah.
Maka dengan segala kenikmatan ini kadang saya bertanya dalam hati, mengapa Allah menguji ayah dan ibu dengan ujian yang berat di masa mudanya sembari tak lupa berdoa untuk kebahagiaan keduanya di dunia dan akhirat.
Kemudian hari ini, saya mendapatkan jawabannya. Kami sekeluarga besar mendapatkan ujian bersama-sama. Ayah jatuh tiga minggu yang lalu dari ketinggian, kepalanya terbentur hingga terjadi pendarahan di otaknya sehingga harus dioperasi. Operasi berjalan lancar dan saat ini sedang pemulihan. Beliau sedang belajar berjalan, harus menjalani fisioterapi mata dan ingatan karena banyak hal yang akibat kejadian ini beliau tidak bisa mengingatnya termasuk saya. Secara bertahap beliau mulai ingat sedikit semi sedikit. Ujian yang berat bagi saya, adalah karena saya belum bisa hadir secara fisik untuk mendampingi pemulihan beliau. Apalagi kemarin beliau bilang ingin sekali bertemu dengan kami. Sementara kami belum siap secara materi, benar-benar tidak siap, hal yang berat untuk disampaikan kepada ayah yang masih dalam pemulihan pasca operasi otak. Kami sadar kami tidak boleh berlama-lama. Kami sadar kami harus mempersiapkan diri secepat-cepatnya. Suami saya berkomitmen untuk bisa lulus tepat waktu, 14 bulan lagi, insya Allah. Dan saya akan 'mengencangkan ikat pinggang' dan 'memakai kacamata kuda'. Inilah jawabannya. Allah maha adil. Hamba-Nya tidak akan luput dari ujian-Nya pada tingkat kesulitan yang sama, dalam bentuk yang berbeda. Maka Allah pasti juga akan memberikan kemudahan di setiap kesulitan.
Semoga ayah segera pulih tanpa kurang suatu apapun dan Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk dapat melalui ujian ini dengan baik. Aamiin2 yra..
0 comments:
Post a Comment