Mengurus Ijin Tinggal untuk Mendampingi Pasangan Sekolah di Austria

Ijin tinggal atau residence permit diperlukan ketika kita hendak tinggal di Austria selama

Beradaptasi dengan Day Care

Kolaborasi Orang tua, anak dan tim di masa awal menitipkan anak di daycare.

Mengenal kuman si biang penyakit

Apa itu patogen? Apa itu virulensi? Apa itu resistensi? Belajar tentang kuman yuk supaya kita tahu bagaimana mencegahnya

Dieser Sommerurlaub war....

abenteuerlich (adventurous)/anregend (stimulating)/ erstaunlich (amazing)/ ermüdend (tiring)/ bedrohlich (threatening

Toilet training untuk anak

Sharing pengalaman yuk bagaimana membuat si kecil supaya mau pergi ke toilet

Saturday 22 October 2016

Mengapa Perlu Mengisi Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak?

Pastikan Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak kita terisi dengan lengkap ya setiap kali kunjungan ke dokter. Ingatkan dokter jika beliau lupa. Seringkali sulit bagi kita mengingat informasi medis dan tumbuh kembang anak yang penting di kemudian hari, apalagi jika anak kita kemudian memiliki adik, dan adiknya punya adik lagi, dan seterusnya. Hehe. Juga, seringkali di ruang tunggu praktek, sedang menunggu anak kecil lain yang kesakitan. Informasi cepat dan akurat di Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak akan mengurangi waktu yang terbuang karena kita harus mengingat-ingat informasi detail di masa lalu. Pemeriksaan jadi efisien, efektif, tapi menyeluruh terhadap anak kita.
Yuk, kita bantu ciptakan pelayanan kesehatan berkelanjutan dan menyeluruh untuk anak-anak kita. 💪:)💪
Sekitar 3 bulanan yang lalu, datang surat dari Eltern Kind Information Service (Layanan Informasi Orang Tua dan Anak dari pemerintah Austria) ke alamat kami. Isi surat tersebut adalah reminder jadwal untuk pemeriksaan tumbuh kembang oleh dokter spesialis anak untuk anak-anak usia 22-26 bulan. Pemeriksaan tersebut gratis untuk setiap anak yang memiliki ijin tinggal di Austria.
Setelah sempat tertunda karena anak saya terserang Rotavirus, akhirnya pekan lalu saya dan anak bertandang ke tempat praktek dokter spesialis anak. Baik resepsionis, asisten dokter, maupun dokter anaknya, semuanya menanyakan apakah saya memiliki "Mutter-Kind-Pass", Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Austria. Saya katakan tidak, karena anak saya lahir di Indonesia, sembari menyerahkan buku serupa yang saya dapatkan setelah persalinan di Indonesia.
Dokter dengan telaten membolak-balik satu-persatu halaman dari awal hingga akhir. Sepertinya agak sedikit kecewa karena tidak semua informasi yang beliau cari tertulis di buku atau mungkin juga justru terkesima pada gambar-gambar karikatur di setiap halamannya, who knows :D Tapi beliau sempat bermonolog mengapa tabel-tabelnya dibiarkan kosong tidak terisi (tabel bagian pemeriksaan selama hamil dan pasca melahirkan).
Rupanya informasi-informasi berikut ini yang beliau inginkan (yang selalu didokumentasikan oleh dokter kandungan dan dokter anak di dalam Mutter-Kind-Pass) :
1. Hasil pemeriksaan selama kehamilan, termasuk hasil tes lab dan USG
2. Medikasi apa saja yang ibu jalani selama hamil
3. Catatan persalinan
4. Hasil pemeriksaan bayi seketika setelah lahir
5. Hasil pemeriksaan ibu selama masa nifas, termasuk medikasi dan imunisasi terhadap ibu
6. Hasil pemeriksaan tumbuh kembang bayi berkala yang pernah dijalani sebelumnya (termasuk di antaranya berat & tinggi badan, serta lingkar kepala)
7. Rekam vaksinasi
Di Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak milik saya (diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia) sebenarnya ke-tujuh poin tersebut sudah ada form, tabel, maupun chart nya. Namun, hanya bagian Catatan Persalinan, Rekam Vaksinasi, dan Grafik Berat Badan bulanan saja yang terisi. Lainnya kosong, baik hasil pemeriksaan selama hamil maupun pemeriksaan tumbuh kembang.
Bagian pemeriksaan hamil memang dibiarkan kosong karena diisi di Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak dari RSIA Hermina Pasteur (selama 8 bulan pertama kehamilan saya tinggal di Bandung). Setelahnya hingga persalinan berada di Wonosobo. Nah, di bagian pemeriksaan tumbuh kembang, memang pada saat itu, hasil pemeriksaan tumbuh kembang anak saya di Indonesia selalu dilakukan berbarengan dengan vaksinasi. Rekam tumbuh kembang dicatatnya hanya di rekam medis dokter dan kepala saya, tidak dicatat di buku. Yang dicatat hanya rekam vaksinasi dan berat badan anak.
Selama di Indonesia, vaksinasi sekaligus konsultasi tumbuh kembang anak saya sempat dilakukan di 3 kota yang berbeda. Jadi, 3 dokter anak yang berbeda. Pada saat pemeriksaan sudah terbiasa dengar pertanyaan-pertanyaan tentang "masa lalu", seperti kapan tumbuh gigi pertama kali, merangkak, jalan, makan, tinggi badan saat umur sekian, sakit atau sehat ketika chart berat badan turun, riwayat sakit, dsb. Kadang terjawab dengan lancar, kadang hanya perkiraan karena tidak mungkin bisa ingat semuanya dengan detail. Informasi kira-kira ini sepertinya sudah jadi hal yang biasa dan dimaklumi. Mungkin juga karena anak saya Alhamdulillah tidak memiliki tanda kelainan apapun. Tapi ketika sesuatu tidak diharapkan terjadi, misal seperti kok beberapa bulan yang lalu berat badan di grafik KMS turun drastis. Apa yang terjadi waktu itu secara medis, konsultasi dengan dokter hanya bisa menghasilkan kesimpulan mentah karena data aktual hanya "di awang-awang" pada saat konsultasi.
Berbeda ketika hal serupa dilakukan di sini. Mungkin juga karena informasi demikian seharusnya tidak perlu dikira-kira karena tinggal dibuka di Buku-Kesehatan-Ibu-dan-Anak seandainya saja setiap konsultasi selalu terdokumentasi. Tenaga kesehatan di sini sudah terbiasa mendapatkan semua informasi tumbuh kembang yang diperlukan dari Mutter-Kind-Psss, sehingga jika terdapat ketidaksesuaian tumbuh kembang bisa terdeteksi dan diantisipasi resiko beratnya sejak dini. Pernyataan yang saya bold tertulis di Mutter-Kind-Pass.
Akhirnya, dokter memberikan saya Mutter-Kind-Pass terbitan kementerian kesehatan Austria itu, dan meminta saya mengisikan sendiri hasil-hasil pemeriksaan yang umum selama di Indonesia ke kolom-kolom yang ada, misalnya seperti perkembangannya, riwayat sakitnya, dll yang umum.
Sekilas tentang Mutter-Kind-Pass Rep. Austria berdasarkan pemahaman saya setelah membaca seluruh isi buku ini.
Mutter-Kind-Pass adalah sebuah ide bagus untuk menjaga sistem pelayanan kesehatan berkelanjutan pada seorang anak dimulai sejak dirinya berada di dalam kandungan. Ibu hamil di Austria akan mendapatkan Mutter-Kind-Pass sejak pertama kunjungannya ke dokter Obgyn. Semua rumah sakit dan dokter menggunakan Mutter-Kind-Pass yang sama.
Sesuai namanya "Pass" (=passport (EN)), memang ukurannya similar dengan paspor. Isinya sangat to the point. Hanya pengantar, lalu jadwal kontrol ibu dan anak, serta form yang mencakup ke-7 poin di atas tadi.
Pada Mutter-Kind-Pass juga disertakan brosur terpisah knowledge management untuk ibu hamil dan menyusui serta tumbuh kembang anak.
Setiap kontrol, dokter akan mencatat hasil pemeriksaan pada rekam medis di tempat prakteknya juga pada Mutter-Kind-Pass. Ini sudah menjadi SOP nya. Sehingga ke dokter mana pun bumil, busui, dan anaknya kontrol, dokter yang baru akan mendapatkan gambaran kondisi kesehatan sebelumnya dari Mutter-Kind-Pass. Informasi diperoleh dengan akurat dan cepat. Selain kontrol rutin, jika suatu saat terserang penyakit atau kelainan tertentu, dokter akan menelusuri faktor resiko penyebabnya secara menyeluruh, jika diperlukan, termasuk informasi mengenai medikasi terhadap ibu selama kehamilan.
Bagaimana kalau Mutter-Kind-Pass lupa dibawa ya saat ke dokter? Hmm kayaknya mah ga akan lupa sih, karena rupanya Mutter-Kind-Pass ini adalah "tiket" untuk mendapatkan tunjangan untuk ibu dan anak dari pemerintah. Ya, setiap anak yang ayahnya sudah membayar pajak penghasilan kepada pemerintah Austria, berhak mendapatkan tunjangan. Nah ibunya juga, kalau mau tidak bekerja, berhak mendapatkan tunjangan selama 2 tahun, dan disebut sebagai Karenz. Totally normal, pajaknya saja besar.. kurang lebih 45% dari penghasilan brutto 😮😮.
Kembali ke Mutter-Kind-Pass. Di dalam nya tertera jadwal 5x pemeriksaan wajib selama hamil, dan 5x tidak wajib, beberapa kali pemeriksaan selama nifas, dan 9x pemeriksaan tumbuh kembang anak setelah lahir.
Pemeriksaan Wajib untuk Ibu Hamil :
1. 1× pada usia kehamilan 16W (cek darah)
2. 1x pada usia kehamilan 17-20W (cek dalam)
3. 1x pada usia kehamilan 25-28W (cek darah)
4. 1x pada usia kehamilan 30-34W
5. 1x pada usia kehamilan 38W
Pemeriksaan tidak wajib ibu hamil :
1. 1x USG pada usia kehamilan 8-12W
2. 1x USG pada usia kehamilan 18-22W
3. 1x USG pada usia kehamilan 30-34W
4. 1× USG setelah anak lahir minggu pertama
5. 1× USG setelah anak lahir 6-8 minggu
Pemeriksaan wajib untuk anak (di luar jadwal imunisasi) :
1. 1x pada minggu pertama kelahirannya
2. 1x pada minggu ke-4 sampai ke-7 (termasuk pemeriksaan ortopedi)
3. 1x pada bulan ke-3 sampai 5
4. 1x pada bulan ke-7 sampai 9 (termasuk pemeriksaan THT)
5. 1x pada bulan ke-10 sampai 14 (termasuk pemeriksaan mata)
Pemeriksaan tidak wajib untuk anak :
1. 1× pada bulan ke-22 sampai 26 (termasuk pemeriksaan mata)
2. 1x pada bulan ke-34 sampai 38, sekitar ulang tahun anak ke-3
3. 1x pada bulan ke-46 sampai 50, sekitar ulang tahun anak ke-4
4. 1x pada bulan ke-58 sampai 62, sekitar ulang tahun anak ke-5
Status pemeriksaan "wajib" dan "tidak wajib" dalam Mutter-Kind-Pass berpengaruh pada pencairan tunjangan. Seluruh pemeriksaan wajib harus terlaksana dan terdokumentasi, stempel dan cap dokter di Mutter-Kind-Pass seusai pemeriksaan harus ditunjukkan kepada pihak asuransi. Di sini kantor asuransi berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam urusan pencairan tunjangan. Tidak terlaksananya pemeriksaan wajib akan menyebabkan tunjangan dihentikan atau dikurangi. Sementara pemeriksaan tidak wajib, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan mempengaruhi tunjangan.
Jadi, dalam situasi saya, walaupun pemeriksaan tumbuh kembang dilakukan berkali-kali selama di Indonesia dan bisa disinkronkan waktunya apakah sesuai dengan jadwal yang diwajibkan untuk kontrol, tetap tidak bisa digunakan untuk mencairkan tunjangan karena tidak ada dokumentasi, cap, dan stempel asli dari dokter yang memeriksa.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pelajaran kali ini : Pastikan Buku Kesehatan Ibu dan Anak kita terisi dengan lengkap ya setiap kali kunjungan ke dokter. Ingatkan dokter jika beliau lupa. Seringkali sulit bagi kita mengingat informasi medis dan tumbuh kembang anak yang penting di kemudian hari, apalagi jika anak kita kemudian memiliki adik, dan adiknya punya adik lagi, dan seterusnya. Hehe. Yuk, kita bantu ciptakan pelayanan kesehatan berkelanjutan dan menyeluruh untuk anak-anak kita. 💪:)💪
Salam dari Leoben, Austria.
Share:

Saturday 15 October 2016

Ayam Panggang Paprika


Akhir-akhir ini suka masak yang simpel-simpel aja. Tapi agak bosan juga karena untuk ayam masak yang simpel paling hanya sop, kaldu, ayam goreng. Pengen bikin ayam panggang tapi yang simpel, ternyata ada lho. Resepnya ngintip di video ini saya, saya tuliskan di bawah juga, beserta tips-tips nya berdasarkan percobaan saya. Arahan rasanya beda ya sama ayam panggang yang sering ditemui di Indonesia. Dua-duanya sama-sama unik dan enak. Suami sama anak ternyata suka lho, saya apalagi. Hehe. Repeat order deh.
Bahan :
1,5 kg Ayam
1 siung bawang bombay besar, iris tipis
2 buah tomat merah (tomat buah/ tomat chery) besar, iris bulat
+/- 5 sdm paprika bubuk
+/- 5 sdm minyak nabati/ mentega
+/- 2 sdm garam dapur
Setengah buah jeruk baby
Cara membuat :
1. Potong ayam sesuai selera, lalu cuci bersih. Bisa juga menggunakan ayam utuh, tidak dipotong. (Semakin kecil ukuran potongan ayam, waktu memanggang semakin singkat. Saya pernah mencoba ayam utuh, ayam potongan besar, dan kecil. Saya pribadi prefer yang potongan kecil kalau hanya untuk sehari-hari sih, lebih cepat matang, dagingnya juga lebih renyah dan gurih. Kalau untuk acara-acara khusus, ayam utuh lebih terlihat mewah di atas meja).
2. Blansir ayam dengan air mendidih kurang lebih 3 menit (ini untuk potongan ayam kecil. Semakin besar potongannya, setelah diblansir sebaiknya di rebus lagi beberapa lama supaya waktu memanggang tidak terlalu lama.)
3. Tiriskan ayam.
4. Panaskan oven 200°C.
5. Buat bumbu oles : Campurkan minyak nabati/ mentega, paprika bubuk, dan garam di mangkok. Aduk sampai rata.
6. Balurkan bumbu pada ayam dengan menggunakan kuas masak. Oleskan hingga seluruh permukaan ayam tertutup bumbu. (Jangan terlalu tipis supaya bumbu meresap ke dalam daging. Pada saat dipanggang, air dari dalam ayam akan keluar sehingga ada sebagian bumbu yang akan terbawa menjadi kuah kental).
7. Simpan ayam ke dalam loyang panggang. Taburkan bawang bombay dan tomat, perasan jeruk baby.
dscn8744
Siap dipanggang..

8. Panggang ayam di dalam oven, kurang lebih 45-50 menit untuk potongan ayam kecil. Pastikan bawang bombay dan tomat sudah layu. Pastikan juga ayam sudah matang hingga ke tulang menggunakan tusuk gigi atau garpu.
9. Lebih nikmati dimakan bersama nasi hangat dan sambal. Nymmm.. Selamat mencoba! :mrgreen:
image

Intip resep lainnya di sini :
Share:

Thursday 13 October 2016

"Abah, Anakmu Ingin Bertemu... Babah, Dicari Cucumu.."

Minggu pagi 18 September 2016, saya terbangun dengan ceria. Anak saya akhirnya sembuh dari Rotavirus yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama 5 hari. Sudah seminggu terakhir sejak anak saya muntah dan diare intens, kami sekeluarga tidak punya banyak waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia. Maka hari itu, setelah akhirnya anak saya sembuh, saya berencana menghabiskan hari dengan menghubungi orang tua dan mertua, juga kakak dan adik kami sekeluarga, serta jalan-jalan santai di luar rumah, sudah satu minggu hanya berada di dalam ruangan.
Baru saya buka HP sebentar, kakak ipar saya menelepon. Betapa senangnya saya. Ternyata sehati, pikir saya. Kakak ipar menanyakan kabar saya, lalu minta nomor hp keluarga sepupu kami juga tetangga orang tua kami. Saya tidak curiga. Telepon dimatikan, saya langsung cari contactnya di HP. Belum ketemu, tiba-tiba ada whatsapp call masuk. Ternyata anak dari sepupu saya. Dia juga menanyakan kabar saya dan meminta nomor hp kakak/ kakak ipar saya. Dua telepon yang singkat. Saya mulai curiga. Khawatir ada sesuatu yang urgent, saya buru-buru mengirimkan nomor yang diminta ke masing-masing. Saya tunggu beberapa saat supaya mereka bisa saling menghubungi. Baru kemudian, mencoba untuk tenang, saya tanyakan ada apa kepada kakak ipar saya. Lalu berita mengagetkan itupun saya dengar. Sambil menangis kakak ipar saya berkata, abah terjatuh dari lantai dua ke halaman rumah. Beliau tidak sadarkan diri, sudah dibawa ke rumah sakit umum di dekat rumah, lalu dirujuk ke rumah sakit di kota lain yang lebih besar. Sontak sayapun ikut menangis.
Saya diminta untuk tenang menunggu kabar perkembangan abah. Di grup keluarga besar mulai di-broadcast informasi bahwa abah dirujuk dalam keadaan kritis dan minta didoakan sebanyak-banyaknya. Keluarga besar juga banyak merapat ke rumah sakit. Hati saya tercabik-cabik. Empat jam kemudian, kabar masih tak kunjung datang. Saya coba hubungi ibu dan saudara-saudara yang ada di rumah sakit. Saya tidak mendapatkan informasi yang saya inginkan, tentang kondisi medis Abah ataupun sekedar info bahwa sedang ada dokter yang menangani. Sambil panik saudara saya hanya minta saya untuk berdoa. Saya ingin pulang saat itu juga. Tapi saya harus realistis juga, kami tinggal di Eropa. Tabungan kami hanya cukup membiayai satu perjalanan tiket pulang. Sementara saya punya batita. Tidak ada pilihan lain selain hanya menunggu dan terus berdoa. Saya kerjakan pekerjaan sehari-hari yang mau tidak mau tetap harus dikerjakan sambil ndremimil mengirim surat Al Fathihah untuk Abah.
Tiba-tiba saya ingat. Saya punya teman seorang dokter di rumah sakit itu. Maka saya hubungi dia. Ternyata dia sudah resign dan tinggal di Eropa juga. Tapi betapa beruntungnya saya, dia ternyata masih menjalin komunikasi dengan rekan-rekan dokter di rumah sakit itu. Dengan cekatan dia membantu saya mencarikan info tentang kondisi medis Abah. Alhamdulillah meskipun diagnosanya berat, tapi saya mendapat kejelasan dan banyak saran dari pandangan seorang dokter.
Abah mengalami cedera otak sedang. Ada pendarahan yang menyebabkan beliau tidak bisa bergerak juga merespon suara dari lingkungan dan pendarahan itu harus dievakuasi segera melalui operasi. Astagfirullah. Saya tegang. Selagi menunggu penjelasan dari teman saya itu, suami tidak bisa tinggal diam. Dia langsung memforward pesan berbahasa medis ke temannya yang juga dokter. Dan kami mendapat info serupa yang saling melengkapi. Intinya tetap, harus dioperasi segera.
Karena tidak ada keluarga yang bisa memberikan informasi realtime perkembangan di rumah sakit, bahkan hingga malam tiba, maka saya khawatir. Kami tak hentinya mencoba menghubungi keluarga untuk memastikan bahwa jika dokter sudah menawarkan solusi operasi, maka harus disetujui. Syukurlah, kakak saya sebagai laki-laki tertua pengganti Abah di keluarga kecil kami, yang saat itu masih dalam perjalanan dari Tanjung Balai, memiliki tabiat selalu percaya pada ahlinya. Maka dia yang ternyata dihubungi via telepon oleh dokter, langsung menyatakan setuju operasi dilakukan dan tidak perlu menunggu kakak saya sampai di rumah sakit terlebih dulu. Walaupun pada akhirnya ternyata operasi baru siap dilaksanalan sesaat setelah kakak saya sampai rumah sakit.
Syukurlah, setelah itu saya mulai bisa mendapatkan info real time dari rumah sakit via kakak ipar. Termasuk saat operasi akan dimulai, pukul 6 pagi waktu Indonesia Barat atau 1 malam waktu di negara kami tinggal. Semalaman saya masih terus ndremimil Al Fathihah dengan kecepatan yang kian lama kian berkurang karena stamina menurun. Saya tidak bisa tidur membayangkan Abah terbaring koma di UGD, masih bisa mendengar tapi tidak bisa merespon, ibu dan keluarga besar lain menunggu di luar UGD dari pagi hingga hampir pagi lagi, kakak ipar saya sedang hamil dan anaknya yang batita juga turut di sana, mereka juga pasti sangat lelah dan tidak bisa tidur.
Alhamdulillah operasi dinyatakan berjalan lancar dua jam kemudian. Saat itulah, saya mulai bisa sedikit bernafas lega dan memejamkan mata...
Hari ini, kondisi Abah sudah semakin membaik. Beliau sedang belajar jalan dan sudah mulai kuat jalan dari ruang tamu ke kamar. Ingatannya masih perlu pemulihan. Lusa yang lalu, saya sempat ngobrol dengan beliau cukup lama di telepon. Suaranya begitu sehat. Hanya badannya saja yang masih lemah. Beliau banyak bertanya tentang apa-apa yang beliau lupa, tentang background pendidikan saya dan suami juga yang sedang dijalani, kami ada di mana, sampai kapan, umur anak saya, apakah sudah waktunya sekolah, nama urutan sekolah, dsb, saya jawab semua yang beliau tanya perlahan, beliau senang mendengarnya seolah rasa penasarannya terjawab sudah. Beliau sempat curhat, merasa badannya remuk dan pesimis tidak bisa kembali seperti dulu. Juga sangat ingin bertemu dengan kami. Bagian ini membuat saya ingin sekali pulang dan menemani Abah membantu proses pemulihannya.
Teringat semasa kami masih di Indonesia, dari saya kecil hingga saat mau berangkat ke Eropa, Abah hampir selalu hadir meringankan kesulitan-kesulitan saya. Sekarang, di saat beliau mengalami masa sulit, justru saya tidak bisa ada di sana. Sedih dan merasa bersalah.
Abah, kami juga ingin sekali bertemu. Cucumu juga sudah dari lama menunggu saat-saat bisa bermain-main lagi denganmu meskipun itu hanya di video call. Cepat sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala ya Bah... maafkan kami karena belum bisa pulang sekarang...
Share:

Wednesday 12 October 2016

Allah swt Maha Adil, Setiap Hamba Merasakan Ujian-Nya

Hari ini saya kembali diingatkan oleh-Nya, tak ada hamba yang luput dari ujian-Nya. Mungkin juga setiap hamba akan merasakan susah yang tingkatan beratnya bagi masing-masing orang setara, dalam bentuk yang berbeda-beda.
Ibu saya adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara yang seayah seibu, namun anak ke-12 dari 12 bersaudara se-ibu lain ayah, dan anak ke sekian dari sekian bersaudara seayah lain ibu. Ibu saya lahir di dunia yang kala itu masih menganut kuat budaya leluhur bahwa seorang wanita seharusnya tumbuh menjadi seorang ibu rumah tangga (tidak bekerja di kantoran) yang baik, sehingga dididiklah beliau dan saudara-saudara perempuan yang se-ibu sedari kecil hingga dewasa untuk belajar menjadi ibu, mengurus rumah, bercocok tanam, memasak, menjahit, membaca, menulis, dan belajar agama. Ibu saya yang ingin menjadi guru pun dilarang, dan disekolahkan ke pondok bukan ke sekolah guru. Maka jadilah ibu saya yang sekarang, seorang ibu rumah tangga cekatan, telaten, seorang qiro'ah, idola suami dan anak-anaknya. Beliau menikah dengan ayah saya yang kala itu sudah menjadi polisi dan merintis hidup mandiri, dari bawah. Saya selalu ingat cerita ibu saya bagaimana beliau mengatur keuangan keluarga dan berdagang, hijrah dari desa tempatnya dilahirkan ke kota kecil, hingga akhirnya bisa memiliki sendiri rumah hasil kerja keras berdua dengan ayah saya. Saking banyaknya potongan-potongan cerita ibu, membuat saya bisa membayangkan garis besar keseluruhan cerita dalam hidupnya. Betapa pahitnya terlahir di keluarga poligami dan lingkungan yang belum mendukung kesetaraan gender, hingga beratnya masa-masa awal setelah ibu menikah, membuat ibu selalu menomorsatukan keutuhan keluarga kecil kami dan memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. "Walaupun perempuan, kamu harus bisa kerja, jangan bergantung pada suamimu" nasehat seperti ini sering sekali saya dengar. Hingga akhirnya anak pertama nya berhasil menjadi sarjana teknik mesin dan bekerja di bidang perminyakan sementara saya adiknya menjadi apoteker.
Ayah saya terlahir di salah satu daerah di pesisir Jawa yang sempat menjadi target penyerangan PKI bertahun-tahun yang lalu ketika beliau masih berumur belasan tahun. Akibat penyerangan itu, ayah dan saudara-saudara kandung serta nenek saya harus terpisah-pisah merantau ke daerah ataupun kota-kota lainnya demi menyelamatkan diri masing-masing. Alhamdulillah beliau dibesarkan di tanah pasundan oleh pamannya. Lulus SMA, ayah nekat merantau kembali ke Jawa Tengah, mendaftarkan diri sebagai
polisi, hanya berbekal nekat. Takdir Allah, beliau berhasil menjadi polisi. Sebagai wujud rasa syukurnya itulah beliau selalu berusaha menjaga amanah dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Saya terlahir di dunia yang berbeda. Di dunia modern di mana kesetaraan gender sudah menjadi hal yang biasa. Wanita bekerja bukan hal yang pamali lagi. Saya ditumbuhkan dalam keluarga yang utuh, lingkungan yang baik, dan disekolahkan ke sekolah-sekolah terbaik. Saya menikah dengan seorang insinyur dan mencoba merintis hidup mandiri namun seringkali gagal mandiri karena betapa baiknya keempat orang tua kami sehingga sering memberikan kami hadiah selain doa, entah berupa materi maupun perhatian, waktu dan tenaga, yang jauh lebih besar nilainya dari apa yang didapatkan oleh ibu sewaktu muda dulu dan lingkungan yang jauh lebih kondusif daripada masa muda ayah. Betapa hidup saya berjalan nyaris mulus. Bisa dibilang begitu.
Kini saya harus hidup merantau bersama suami dan anak kami di negeri orang. Negeri yang sangat jauh, 17 jam perjalanan udara. Negara dengan standar hidup luar biasa. Regulasi yang ketat berhasil membuat pasar menawarkan barang dan jasa dengan standar kualitas yang tinggi dan tentunya harga yang sama sekali tidak menarik. Kami hidup dengan beasiswa studi suami saya yang jumlahnya selalu diragukan oleh pemerintah negeri ini akan bisa menghidupi kami sekeluarga. Nyatanya, meskipun mungkin terlihat sederhana dibanding orang-orang lain di sini, kami tetap makan nasi dengan kualitas beras yang sama seperti yang kami makan di Indonesia, Alhamdulillah magic com kami belum pernah kosong kecuali sewaktu kelupaan menanak nasi atau memang ingin makan yang lain. Alhamdulillah anak bisa minum susu 2 gelas sehari, lauk, sayur dan buah juga tak lupa hadir di meja makan untuk sekeluarga kecuali kami lupa untuk belanja. Kami bisa menabung dan sesekali jalan-jalan. Kami sehat dan bahagia. Alhamdulillah nikmat yang luar biasa dianugerahkan oleh Allah.
Maka dengan segala kenikmatan ini kadang saya bertanya dalam hati, mengapa Allah menguji ayah dan ibu dengan ujian yang berat di masa mudanya sembari tak lupa berdoa untuk kebahagiaan keduanya di dunia dan akhirat.
Kemudian hari ini, saya mendapatkan jawabannya. Kami sekeluarga besar mendapatkan ujian bersama-sama. Ayah jatuh tiga minggu yang lalu dari ketinggian, kepalanya terbentur hingga terjadi pendarahan di otaknya sehingga harus dioperasi. Operasi berjalan lancar dan saat ini sedang pemulihan. Beliau sedang belajar berjalan, harus menjalani fisioterapi mata dan ingatan karena banyak hal yang akibat kejadian ini beliau tidak bisa mengingatnya termasuk saya. Secara bertahap beliau mulai ingat sedikit semi sedikit. Ujian yang berat bagi saya, adalah karena saya belum bisa hadir secara fisik untuk mendampingi pemulihan beliau. Apalagi kemarin beliau bilang ingin sekali bertemu dengan kami. Sementara kami belum siap secara materi, benar-benar tidak siap, hal yang berat untuk disampaikan kepada ayah yang masih dalam pemulihan pasca operasi otak. Kami sadar kami tidak boleh berlama-lama. Kami sadar kami harus mempersiapkan diri secepat-cepatnya. Suami saya berkomitmen untuk bisa lulus tepat waktu, 14 bulan lagi, insya Allah. Dan saya akan 'mengencangkan ikat pinggang' dan 'memakai kacamata kuda'. Inilah jawabannya. Allah maha adil. Hamba-Nya tidak akan luput dari ujian-Nya pada tingkat kesulitan yang sama, dalam bentuk yang berbeda. Maka Allah pasti juga akan memberikan kemudahan di setiap kesulitan.
Semoga ayah segera pulih tanpa kurang suatu apapun dan Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk dapat melalui ujian ini dengan baik. Aamiin2 yra..
Share:

Disclaimer

Dear reader, Nothing is perfect, demikian juga konten di blog ini. Oleh karena itu, terimakasih untuk komentar, sharing, saran, kritik dan untuk kunjungannya ke blog saya, yang walaupun imperfect namun semoga bermanfaat. ♥ vidya ♥

Labels

Drop me a message

Name

Email *

Message *

Recent Posts

About me

Empat tahun mengenyam pendidikan S1 Sekolah Farmasi, saya melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker satu tahun. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan saya berkesempatan berkarya di dunia industri kosmetik setelah saya lulus Pendidikan Profesi. Tiga tahun berkiprah di dunia itu, saya memutuskan berhenti sementara dari dunia karir demi berkumpul dengan keluarga kecil di Leoben, Austria

Saya mengenal blog semenjak kuliah profesi. Saya memiliki blog pribadi dan bergabung menjadi author di www.apotekerbercerita.com. Sebelumnya saya hanya menumpahkan isi pikiran di diary. Namun saya baru menyadari kecintaan menulis justru setelah berada di Austria. Dengan menulis saya banyak membaca dan belajar, mengingat, belajar berkomunikasi, belajar bertanggung jawab dan akhirnya saya mengijinkan diri saya sedikit berbangga dan bahagia meskipun mungkin menurut orang itu biasa saja hihi. Saya merasa ada yang terobati setiap bisa menyelesaikan satu judul tulisan. Maka saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti menulis.

Terimakasih kepada siapa saja yang sudah berkunjung, selamat membaca dan semoga konten webblog ini bisa bermanfaat.

Salam hangat,

Vidya