Minggu pagi 18 September 2016, saya terbangun dengan ceria. Anak saya akhirnya sembuh dari Rotavirus yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama 5 hari. Sudah seminggu terakhir sejak anak saya muntah dan diare intens, kami sekeluarga tidak punya banyak waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia. Maka hari itu, setelah akhirnya anak saya sembuh, saya berencana menghabiskan hari dengan menghubungi orang tua dan mertua, juga kakak dan adik kami sekeluarga, serta jalan-jalan santai di luar rumah, sudah satu minggu hanya berada di dalam ruangan.
Baru saya buka HP sebentar, kakak ipar saya menelepon. Betapa senangnya saya. Ternyata sehati, pikir saya. Kakak ipar menanyakan kabar saya, lalu minta nomor hp keluarga sepupu kami juga tetangga orang tua kami. Saya tidak curiga. Telepon dimatikan, saya langsung cari contactnya di HP. Belum ketemu, tiba-tiba ada whatsapp call masuk. Ternyata anak dari sepupu saya. Dia juga menanyakan kabar saya dan meminta nomor hp kakak/ kakak ipar saya. Dua telepon yang singkat. Saya mulai curiga. Khawatir ada sesuatu yang urgent, saya buru-buru mengirimkan nomor yang diminta ke masing-masing. Saya tunggu beberapa saat supaya mereka bisa saling menghubungi. Baru kemudian, mencoba untuk tenang, saya tanyakan ada apa kepada kakak ipar saya. Lalu berita mengagetkan itupun saya dengar. Sambil menangis kakak ipar saya berkata, abah terjatuh dari lantai dua ke halaman rumah. Beliau tidak sadarkan diri, sudah dibawa ke rumah sakit umum di dekat rumah, lalu dirujuk ke rumah sakit di kota lain yang lebih besar. Sontak sayapun ikut menangis.
Saya diminta untuk tenang menunggu kabar perkembangan abah. Di grup keluarga besar mulai di-broadcast informasi bahwa abah dirujuk dalam keadaan kritis dan minta didoakan sebanyak-banyaknya. Keluarga besar juga banyak merapat ke rumah sakit. Hati saya tercabik-cabik. Empat jam kemudian, kabar masih tak kunjung datang. Saya coba hubungi ibu dan saudara-saudara yang ada di rumah sakit. Saya tidak mendapatkan informasi yang saya inginkan, tentang kondisi medis Abah ataupun sekedar info bahwa sedang ada dokter yang menangani. Sambil panik saudara saya hanya minta saya untuk berdoa. Saya ingin pulang saat itu juga. Tapi saya harus realistis juga, kami tinggal di Eropa. Tabungan kami hanya cukup membiayai satu perjalanan tiket pulang. Sementara saya punya batita. Tidak ada pilihan lain selain hanya menunggu dan terus berdoa. Saya kerjakan pekerjaan sehari-hari yang mau tidak mau tetap harus dikerjakan sambil ndremimil mengirim surat Al Fathihah untuk Abah.
Tiba-tiba saya ingat. Saya punya teman seorang dokter di rumah sakit itu. Maka saya hubungi dia. Ternyata dia sudah resign dan tinggal di Eropa juga. Tapi betapa beruntungnya saya, dia ternyata masih menjalin komunikasi dengan rekan-rekan dokter di rumah sakit itu. Dengan cekatan dia membantu saya mencarikan info tentang kondisi medis Abah. Alhamdulillah meskipun diagnosanya berat, tapi saya mendapat kejelasan dan banyak saran dari pandangan seorang dokter.
Abah mengalami cedera otak sedang. Ada pendarahan yang menyebabkan beliau tidak bisa bergerak juga merespon suara dari lingkungan dan pendarahan itu harus dievakuasi segera melalui operasi. Astagfirullah. Saya tegang. Selagi menunggu penjelasan dari teman saya itu, suami tidak bisa tinggal diam. Dia langsung memforward pesan berbahasa medis ke temannya yang juga dokter. Dan kami mendapat info serupa yang saling melengkapi. Intinya tetap, harus dioperasi segera.
Karena tidak ada keluarga yang bisa memberikan informasi realtime perkembangan di rumah sakit, bahkan hingga malam tiba, maka saya khawatir. Kami tak hentinya mencoba menghubungi keluarga untuk memastikan bahwa jika dokter sudah menawarkan solusi operasi, maka harus disetujui. Syukurlah, kakak saya sebagai laki-laki tertua pengganti Abah di keluarga kecil kami, yang saat itu masih dalam perjalanan dari Tanjung Balai, memiliki tabiat selalu percaya pada ahlinya. Maka dia yang ternyata dihubungi via telepon oleh dokter, langsung menyatakan setuju operasi dilakukan dan tidak perlu menunggu kakak saya sampai di rumah sakit terlebih dulu. Walaupun pada akhirnya ternyata operasi baru siap dilaksanalan sesaat setelah kakak saya sampai rumah sakit.
Syukurlah, setelah itu saya mulai bisa mendapatkan info real time dari rumah sakit via kakak ipar. Termasuk saat operasi akan dimulai, pukul 6 pagi waktu Indonesia Barat atau 1 malam waktu di negara kami tinggal. Semalaman saya masih terus ndremimil Al Fathihah dengan kecepatan yang kian lama kian berkurang karena stamina menurun. Saya tidak bisa tidur membayangkan Abah terbaring koma di UGD, masih bisa mendengar tapi tidak bisa merespon, ibu dan keluarga besar lain menunggu di luar UGD dari pagi hingga hampir pagi lagi, kakak ipar saya sedang hamil dan anaknya yang batita juga turut di sana, mereka juga pasti sangat lelah dan tidak bisa tidur.
Alhamdulillah operasi dinyatakan berjalan lancar dua jam kemudian. Saat itulah, saya mulai bisa sedikit bernafas lega dan memejamkan mata...
Hari ini, kondisi Abah sudah semakin membaik. Beliau sedang belajar jalan dan sudah mulai kuat jalan dari ruang tamu ke kamar. Ingatannya masih perlu pemulihan. Lusa yang lalu, saya sempat ngobrol dengan beliau cukup lama di telepon. Suaranya begitu sehat. Hanya badannya saja yang masih lemah. Beliau banyak bertanya tentang apa-apa yang beliau lupa, tentang background pendidikan saya dan suami juga yang sedang dijalani, kami ada di mana, sampai kapan, umur anak saya, apakah sudah waktunya sekolah, nama urutan sekolah, dsb, saya jawab semua yang beliau tanya perlahan, beliau senang mendengarnya seolah rasa penasarannya terjawab sudah. Beliau sempat curhat, merasa badannya remuk dan pesimis tidak bisa kembali seperti dulu. Juga sangat ingin bertemu dengan kami. Bagian ini membuat saya ingin sekali pulang dan menemani Abah membantu proses pemulihannya.
Teringat semasa kami masih di Indonesia, dari saya kecil hingga saat mau berangkat ke Eropa, Abah hampir selalu hadir meringankan kesulitan-kesulitan saya. Sekarang, di saat beliau mengalami masa sulit, justru saya tidak bisa ada di sana. Sedih dan merasa bersalah.
Abah, kami juga ingin sekali bertemu. Cucumu juga sudah dari lama menunggu saat-saat bisa bermain-main lagi denganmu meskipun itu hanya di video call. Cepat sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala ya Bah... maafkan kami karena belum bisa pulang sekarang...
0 comments:
Post a Comment