Mengurus Ijin Tinggal untuk Mendampingi Pasangan Sekolah di Austria

Ijin tinggal atau residence permit diperlukan ketika kita hendak tinggal di Austria selama

Beradaptasi dengan Day Care

Kolaborasi Orang tua, anak dan tim di masa awal menitipkan anak di daycare.

Mengenal kuman si biang penyakit

Apa itu patogen? Apa itu virulensi? Apa itu resistensi? Belajar tentang kuman yuk supaya kita tahu bagaimana mencegahnya

Dieser Sommerurlaub war....

abenteuerlich (adventurous)/anregend (stimulating)/ erstaunlich (amazing)/ ermüdend (tiring)/ bedrohlich (threatening

Toilet training untuk anak

Sharing pengalaman yuk bagaimana membuat si kecil supaya mau pergi ke toilet

Sunday 14 May 2017

Resep Kue Bolu Kukus tanpa Emulsifier

Untung belum menyerah setelah 2x gagal dengan dua resep yang berbeda :D 


Resep standardnya sebetulnya gampang, tapi berhubung ga nemu emulsifier halal di sini, jadi harus coba-coba berbagai resep tanpa emulsifier. Beruntung akhirnya nemu resep yang pas, jelas, dan berhasil, meskipun di resep yang ke-3. 

Yang pernah bikin pasti tau gimana senangnya pas buka panci ternyata semua bolu kukusnya mekaarr. Hahahhh. Akhirnya bikin lagi buat acara Cafè International di Leoben, Austria.


Ternyata kuncinya :
- adonan benar-benar harus kaku sebelum masuk cetakan (kaku = ketika diusik akan membentuk tekstur yang tidak cpt kembali ke bentuk semula, sulit dituang). Kemarin di mixer selama 20 menit dengan kecepatan tinggi. Deuh.. sampai mixernya anget.



- semakin penuh diisinnya ke dalam cetakan, semakin bagus mekar yang dihasilkan :)


- biar lebih gampang pas masukin adonan ke dalam cetakan, adonan dimasukkan dulu ke dalam plastik spuit


Ada yg berminat nyoba bikin? Gampang kok ternyata. Cek gambar atau catatan di bawahnya ya.

Bahan :
- 250 mg tepung terigu protein sedang (griffig weizen mehl/ segitiga biru)

- 250 mg gula halus
- 125 ml fresh milk (susu poan)
- 2 butir telor utuh
- 1 butir kuning telor
- pasta pandan secukupnya/ pewarna lain sesuai selera

Cara :
1. Semuanya kecuali pasta pandan, dimixer sampai kaku.

2. Pisahkan sedikit adonan untuk dicampur dengan pasta pandan.
3. Masukkan adonan tanpa warna ke dalam cetakan hingga hampir penuh. Penuhkan dengan adonan berwarna.
4. Masukkan ke dalam panci kukus, beri jarak satu sama lain agar mekar sempurna.
5. Bungkus tutup panci dengan lap bersih.

6. Kukus selama kurang lebih 15 menit (air dalam kukusan harus sudah mendidih dulu, tutup panci dibungkus lap untuk menyerap embun supaya tidak netes ke adonan. Tetesan air bisa menyebabkan mekarnya ga kece)

Itu resepnya saya nyontek di sini. *terimakasih mba Farros udah nulis di blog nya


Baca juga : Resep Apfelstrudel, Resep Sup Telur Sayur, Resep Muffin Coklat






Share:

Imunisasi, Ya atau Tidak?

Suatu hari saya membaca sebuah status emosional yang kebetulan muncul di timeline facebook saya. Seseorang sedang menyatakan untuk say no pada vaksin dan mengajak teman-temannya untuk juga tidak usah mengimunisasikan anaknya. Dia baru saja memutuskan anak kedua dan ketiganya untuk tidak diimunisasi sama sekali, alasannya karena anak pertamanya baru saja terkena hepatitis B padahal sudah pernah diimunisasi.

Vaksin saat ini berkembang semakin banyak jenisnya. Saya amati banyak sekali orang tua muda yang bertanya-tanya, apakah buah hatinya harus diimunisasi lengkap atau tidak. Salah satu penyebab kebingungan adalah karena adanya kelompok vaksin wajib (yang disubsidi oleh pemerintah) dan vaksin tidak wajib tapi direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Ada juga orang tua yang pernah bertanya-tanya, jangan-jangan vaksin kini tak lain hanyalah produk “bisnis”. Sebagian lagi karena khawatir akan keamanan vaksin. Ini soalnya buah hati ya. Sayapun punya anak sehingga bisa merasakan betapa ingin memberikan perlindungan terbaik untuk buah hati. Tapi manakah yang terbaik, imunisasi atau tidak?

Dear ayah bunda, tetap tenang dan tidak perlu bingung. Untuk memantapkan hati kita cukup perlu merefresh lagi pemahaman kita tentang vaksin dan menggali informasi sedalam-dalamnya. Bisa dengan berkonsultasi secara langsung kepada praktisi kesehatan yang dipercaya atau mengulik sendiri informasi yang valid tentang vaksin dari media. Namun hati-hati dalam memilih media. Sebaiknya pilihlah media yang sudah jelas terpercaya, misalnya jika dari internet, website resmi Ikatan Dokter AnakIndonesia atau website Biofarma (produsen vaksin milik negara Indonesia). Atau website lain dengan domain ".gov" atau ".org". Sebetulnya informasi lengkap tentang setiap vaksin (hingga ringkasan laporan hasil penelitiannya) bisa juga diunduh dengan mudah di website resmi WHO. Hanya memang menggunakan bahasa Inggris.

Mengapa imunisasi itu perlu? Imunisasi adalah cara untuk memancing respon imun tubuh, agar memiliki kekebalan alami terhadap infeksi pernyakit tertentu. Jika suatu saat nanti ternyata bakteri atau virus penyebab infeksi memapar tubuh, tubuh sudah siap dengan antibodi alaminya untuk melawan paparan bakteri atau virus tersebut. Sehingga tubuh terhindar dari infeksi atau kalaupun sakit, tidak separah jika infeksi datang sebelum kita diimunisasi.

Kemajuan teknologi juga berefek pada meningkatnya imigrasi (perpindahan penduduk). Ingat bahwa, berpindahnya seseorang dari suatu daerah ke daerah sangat mungkin membawa serta bakteri atau virus yang endemik di daerah sebelumnya.

Anak-anak usia sekolah paling rentan terinfeksi karena sistem imunnya umumnya belum sesiap kita orang dewasa. Mereka bisa mendapatkan infeksi dari mana saja, lingkungan sekolah (temannya yang terlebih dahulu terinfeksi misalnya), di jalan, lingkungan bergaul di sekitar rumah, dan sebagainya. Mereka juga sangat mungkin menularkan pada anak-anak pra sekolah dan anak-anak lebih muda yang belum diimunisasi ataupun memang belum waktunya diimunisasi.

Hampir semua vaksin yang sudah ada di dunia ini adalah vaksin untuk mencegah infeksi penyakit serius, yang bisa berdampak pada gejala sakit parah, kecacatan, atau bahkan kematian.

Pertimbangkan juga 3 hal di bawah ini jika Ayah Bunda belum mantap untuk mengimunisasikan buah hatinya 

Dalam memantapkan diri untuk mengimunisasikan buah hati, biasanya hal-hal berikut ini yang dipertimbangkan :

1.      1.  Masalah Keamanan dan Mutu Vaksin

Jika kekhawatiran ayah dan ibu adalah masalah keamanan, maka sesungguhnya ayah dan ibu tidak perlu khawatir karena vaksin yang resmi aman untuk digunakan.

Vaksin baru sebelum digunakan oleh masyarakat sudah diteliti selama bertahun-tahun dan juga terus di-review dengan hati-hati oleh para ilmuwan, dokter, pemerintah, dan lembaga kesehatan dunia untuk memastikan keamanannya. Total waktu  penelitian ini bisa memerlukan waktu hingga 12 tahunan.

Proses produksi vaksin juga harus mengikuti regulasi Cara Pembuatan Obat yang Baik yang terstandarisasi dan mengacu pada Good Manufacturing Process yang juga dilakukan di negara-negara maju di dunia. ini dilakukan agar kualitas vaksin terjaga. Sebelum diedarkan, setiap lot produk vaksin harus lulus uji mutu (Quality Control) dan  uji jaminan mutu (Quality Assurance) yang dilakukan oleh produsen vaksin, serta lulus pemeriksaan BPOM. Jadi pengawasannya bertingkat. Setelah lulus, setiap lot vaksin akan diberi sertifikat lulus uji oleh BPOM. Ini untuk menjaga kualitasnya.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, jika Ayah Bunda ragu, konsultasikan pada praktisi kesehatan atau mempelajari info lengkapnya di website yang terpercaya.

2.      2.  Masalah Efek Vaksin

Seperti obat, vaksin juga mengenal efek samping dan tentunya efek yang diharapkan.

Efek samping tiap vaksin berbeda-beda, tapi umumnya efek sampingnya minor seperti radang pada bagian kulit yang diimunisasi atau sedikit demam selama beberapa hari setelah imunisasi. Efek samping bisa muncul bisa tidak. Efek samping serius yang bisa muncul seperti reaksi alergi misalnya. Oleh karena itu informasikan juga pada dokter jika buah hati punya riwayat alergi terhadap bahan tertentu. Informasi efek samping setiap vaksin juga bisa dipelajari di website yang terpercaya tadi.

Sebagian orang tua yang ragu mengimunisasikan buah hatinya juga mungkin mempertanyakan apakah vaksin akan memberikan efek yang diharapkan. Efek yang diharapkan biasanya disebut sebagai efikasi. Seperti sudah saya sampaikan tadi, sebelum dipasarkan, vaksin sudah melalui tahap penelitian panjang. Di antara tahap penelitian itu, juga bertujuan untuk melihat efikasinya. Hasil penelitian efikasi biasanya menunjukkan persentase keberhasilannya. Misalnya persentase keberhasilannya 99%, maka dari 100 orang yang diimunisasi saat penelitian, hanya 1 yang tetap terjangkit penyakitnya, namun umumnya lebih tidak parah dibanding jika tidak menerima imunisasi sebelumnya. Kalau ragu, konsultasikan saja terlebih dahulu kepada dokter.

3.       3. Masalah Sosial, Ekonomi, dan Agama

Beberapa orang mungkin pernah mendengar bahwa ada beberapa jenis vaksin tertentu yang dalam prosesnya menggunakan atau bersentuhan dengan bahan yang berasal dari hewan tertentu yang tidak diperbolehkan oleh agama atau bertentangan dengan norma sosial.

Bersyukurlah kita yang tinggal di Indonesia karena perusahaan vaksin milik negara Indonesia tidak menggunakan bahan yang berasal dari hewan. Ini dinyatakan di website resminya dan juga dalam suatu kuliah yang pernah saya hadiri, Bapak Dirut Biofarma saat itu juga menyatakan bahwa perusahaan itu menghindari menggunakan bahan yang bertentangan dengan norma agama dan sosial masyarakat kita.

Ada satu vaksin yang beredar di Indonesia yang dalam prosesnya memang bersentuhan dengan bagian tubuh Babi, namun pernah diklarifikasi bahwa proses itu tidak bisa dihilangkan dan itu sudah melalui proses pembilasan berkali-kali sehingga tidak mengandung lagi unsur Babi pada produk akhir. Untuk hal ini, MUI juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa untuk vaksin tersebut, hukumnya diperbolehkan, selama belum ada penggantinya. Alhamdulillah bagi kita yang muslim dan tinggal di Indonesia, kerja sama yang baik antara produsen vaksin, pemerintah, dan MUI bisa memberikan ketenangan pada kita dalam menyikapi masalah vaksin ini.

Bagaimana mempertimbangkan faktor ekonomi dalam memutuskan imunisasi atau tidak? Gampang saja, pertimbangkan berapa biaya imunisasi yang Ayah dan Bunda perlukan untuk jenis penyakit tertentu. Lalu bandingkan dengan kerugian kalau buah hati tidak diimunisasikan, lalu (nauzubillahimindzalik) dia terinfeksi sebelum mendapatkan vaksin itu.

Contoh, ini pengalaman pribadi saya sendiri. Saya tidak mengimunisasikan anak saya rotavirus (untuk melawan virus yang menyebabkan infeksi saluran cerna, gejalanya demam, diare dan muntah-muntah berat). Vaksin rotavirus direkomendasikan oleh IDAI tapi waktu itu belum termasuk vaksin wajib. Saya harus membayar cukup mahal, berdekatan dengan itu, ada imunisasi lain yang juga mahal harganya. Karena saya pikir-pikir infeksi rotavirus itu kan hubungannya dengan higienitas, sementara saya yakin akan higienitas lingkungan anak saya, sehingga saya putuskan untuk tidak mengimunisasikan anak saya rotavirus.

Sekitar 1,5 tahun kemudian, di negara yang berbeda, di Austria, ternyata anak saya terkena infeksi virus ini. Sumbernya tidak disangka-sangka, akibat kontak dengan temannya yang ternyata sedang terserang virus ini di hari pertama, sementara orang tuanya belum menyadarinya.

Anak saya berumur 2 tahun, dia harus dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu. Temannya tidak harus dirawat di rumah sakit, dia sudah pernah mendapatkan imunisasi ini dan umurnya juga 1 tahun lebih besar.

Total biaya rumah sakit yang harus kami keluarkan kurang lebih 3 kali lipat biaya imunisasi vaksin rotavirus, padahal ini sudah dibantu dengan asuransi. Belum kerugian waktu. Anak kami kehilangan waktu bermain, bereksplorasi, sebaliknya dia tergolek lemah di rumah sakit. Selama satu minggu saya ikut tinggal di rumah sakit karena anak saya tidak mau lepas dari saya. Di malam hari hanya saya sendiri yang menemani anak saya karena memang sudah ketentuan dari rumah sakit, hanya satu orang yang boelh menemani. Suami saya di siang hari ijin tidak ke kantor karena jelas kepikiran anaknya yang dirawat di rs, sementara kami bertiga jauh dari keluarga besar. Belum lagi energi yang dikeluarkan, stress, dan juga menyita pikiran keluarga besar. Sepulang anak saya dari RS, gantian suami yang terkena virus ini. Pada saat itu saya dan pihak RS juga menyesalkan anak saya tidak diimunisasi rotavirus. Sejak saat itu betul-betul deh ya, saya bertekad untuk memperjuangkan anak saya mendapatkan semua imunisasi yang sudah ada..

Sekarang, yuk sama-sama jadi masyarakat yang bijak dalam menyikapi vaksin. Jangan dulu katakan tidak pada imunisasi sebelum mempertimbangkan ketiga aspek di atas. Meskipun pada akhirnya keputusan ada pada masing-masing, namun sebaiknya dipertimbangkan juga matang-matang termasuk untung dan ruginya.

Keputusan untuk tidak mengimunisasikan anak terutama untuk vaksin-vaksin yang mencegah penyakit serius ini sama artinya dengan membiarkan anak dan siapapun di sekitarnya untuk terinfeksi penyakit serius. Iya, masalah sakit sudah diatur oleh Allah. Namun berikhtiar untuk tidak terserang penyakit adalah kewajiban kita. Imunisasi adalah salah satu pilihan jalan untuk ikhtiar itu.






Share:

Friday 5 May 2017

Mendampingi Suami Sekolah di Luar Negeri? Kenapa Tidak?!

Makna judul tulisan saya ini mungkin menyuarakan hati sebagian istri yang sedang atau sudah mendampingi suami sekolah di luar negeri. Bagi sebagian yang lain, mungkin sebaliknya. Sementara bagi saya?

Sejak sebelum menikah, saya sudah tau bahwa calon suami saya mungkin suatu hari nanti harus melanjutkan sekolah di luar negeri, bukan setahun atau dua.. tapi minimal tiga tahun. Sementara saya, yang dalam diri saya saat itu mengalir darah muda, tersimpan energi besar, dan haus untuk mengejar ambisi dan cita-cita di masa depan, tidak ambil pusing. Bagi saya saat itu, kalau mesti LDR dulu selama suami saya sekolah di luar negeri, kenapa mesti takut?!

Seorang teman saya saat kuliah, justru berpandangan sebaliknya. Baginya, keliling dunia adalah salah satu passion-nya. Bahkan dia menantang calon suaminya untuk sanggup mengajaknya keliling dunia setelah mereka menikah. Matre! Demikian celoteh saya sambil tertawa. Maka dialah yang pertama kali menentang keberanian saya untuk LDR selama suami sekolah di luar negeri. Katanya, "demi apa lo rela LDR? Demi kerja banting tulang buat siapa? Kalau suami gue yang nanti sekolah ke luar negeri, ya gue bakal ikutlah, ga semua orang bisa jalan-jalan ke luar negeri, apa lagi sampai tinggal di sana."

Sungguh semua bagian perkataan teman saya saat itu terdengar matre di telinga saya. Matanya tampak duitan di mata saya. Tapi nyatanya, kata-katanya malah terngiang-ngiang terus di pikiran saya.

Waktu terus berlalu. Kami sudah menikah. Saya berhasil meraih cita-cita karir saya semenjak sebelum menikah. Bekerja di industri kosmetik dalam negeri, turut berjuang mengharumkan nama bangsa di mata bangsa kita sendiri minimal, dan di kancah internasional, melakukan pekerjaan yang saya cintai, dikelilingi oleh orang-orang yang baik, dan dibayar dengan jumlah yang melebihi ekspektasi awal saya. Dari situ saya belajar menabung dan bersedekah. Masa-masa itu saya seperti sedang on fire. Semuanya on the track seperti yang saya inginkan. Meskipun satu yang belum tercapai... berhenti LDR. Ya, sejak menikah, kami memang sudah LDR karena saya dan suami bekerja di kota yang berbeda.

Suatu hari suami saya memberanikan dirinya untuk jujur. Dia meminta saya untuk berhenti LDR. Kala itu, saya sedang hamil. Alasannya sederhana. Beberapa bulan lagi tiba waktunya ia harus berangkat ke luar negeri untuk sekolah. Momen dalam hidupnya yang sudah ia tunggu-tunggu selama ini. Apa iya, dari sejak menikah, sampai berangkat sekolah ke luar negeri, kita belum pernah tidak LDR?

Saya memintanya bersabar untuk menunggu saya berpikir dan memantapkan hati. Sesungguhnya keluarga adalah prioritas saya, tapi apa iya saya harus berhenti sekarang, di saat karir saya sedang baik dan di kala ia akan berangkat ke luar negeri selama bertahun-tahun sementara saya entah kapan bisa menyusulnya bersama anak kami?

Saya bertanya kepada Yang Kuasa, memohon petunjuk dari-Nya. Saya berusaha berpikir logis selama berhari-hari. Tetapi semakin hari realita justru yang menjadi tidak logis. Mendadak apa yang saya cintai dari karir saya menjadi berbeda. Ini seperti kalau kita sedang menonton video, flow-nya terus-menerus maju, dan semakin seru, lalu tiba-tiba videonya jadi lambat, ceritanya monoton, dan membosankan, bahkan, menjadi suram. Video itu adalah gambaran karir saya waktu itu.

Bagi saya ini seperti tamparan dari Allah. Saya berusaha mempertahankan untuk bekerja di suatu tempat yang atasnya suami saya tidak ridho. saya sudah mempertahankan apa yang menurut saya baik untuk saya dan keluarga saya kelak, tapi sebaik-baiknya hal yang baik, adalah yang baik menurut Allah, dan mentaati permintaan suami selama itu bukan di jalan yang mungkar adalah salah satunya...

Tak berselang lama semenjak saya berhenti, rejeki tetap terus mengalir Alhamdulillah. Saya tetap melakukan apa yang saya suka kerjakan, praktek di dunia saya dunia kefarmasian dan masih berkiprah pula untuk industri yang secara fisik sudah saya tinggalkan itu, dan saya dibayar untuk itu serta ditambah dengan momen indah sebagai seorang ibu yang bisa bersama dengan anaknya hampir di seluruh waktunya. Ya, saya tetap bekerja. Tawaran pekerjaan itu datang sendiri tanpa saya yang melamar. Bukan satu, tapi empat. Dan semuanya bisa saya kerjakan di dekat anak saya yang baru lahir. Nikmat dunia mana yang hendak kau dustakan?

Menjelang keberangkatan suami ke luar negeri hingga bulan-bulan awal setelah keberangkatannya, kami menerima banyak sekali kunjungan dari teman dan kerabat. Kunjungan dalam rangka menengok anak kami yang baru lahir sebetulnya. Maka topik apakah saya akan segera menyusul hampir tak pernah luput dari perbincangan.

Di antaranya sangat mendukung saya dan anak kami segera menyusul, buah bibir yang ternyata sangat memotivasi dan menyemangati kami, tapi tak sedikit juga yang nyinyir. “Ngapain kamu ikut-ikutan segala? Terus ngapain di sana? Ngurus suami sama anak aja? Sayang banget gelarmu.” Dan lain sebagainya yang senada. Helloooo apa salahnya ya tinggal bareng dan ngurus suami dan anak sendiri? Tapi ya, boro-boro kalimat ini terucap untuk menjawab mak nyinyir.. yang ada hati malah menjadi galau. Dududu...

Saya sudah lelah mempertanyakan hal-hal duniawi. Toh hidup yang kekal hanya di akhirat. Sejak punya anak, saya merasa kematian itu menjadi semakin nyata. Kematian tak terlihat lagi sebagai akhir dari segalanya, tapi justru awal dari kehidupan yang kekal di akhirat. Ditambah lagi kehadiran buah hati kami, yang ingin kami tumbuhkan dalam lingkungan cinta kasih kedua orang tua nya semaksimal mungkin. 

Berkaca dari pengalaman saya sebelumnya, saat-saat bimbang untuk berhenti kerja, saya putuskan sudah dengan bismillah, saya hanya akan niatkan semuanya yang di depan sebagai ibadah. Saya jalani peran utama saya sebagai istri dan ibu karena ibadah. Dan itu menjadi yang utama bagi saya. Pekerjaan dan rejeki adalah hal yang bobot duniawi nya lebih besar bagi saya yang seorang wanita bersuami, akan saya kejar sebisa saya, tapi prioritas saya bukan itu lagi. Saya yakin, insyaAllah rejeki sudah dijamin oleh Allah. Toh saya sudah membuktikannya sendiri.

Bulan-bulan awal setelah keberangkatan suami ke luar negeri adalah masa-masa terpelik dalam sejarah LDR rumah tangga kami waktu itu. Ironis, kami hidup di jaman di mana teknologi sudah sangat sangat maju, tapi ternyata komunikasi ga segampang itu dijalani. Kurang lebih lima sampai enam jam perbedaan waktu antara kami. Suami sudah bangun pagi, saya masih terlelap kelelahan di tengah malam. Suami istirahat siang di kantornya, saya di Indonesia masih pagi, jam-jamnya rempong rutinitas pagi sama anak bayi yang baru bangun. Suami saya pulang dari kantor, jam saya bekerja. Jam kerja saya selesai, suami sudah terlelap di malam hari. Hahaha. 

Alhamdulillah Allah memberikan hadiah atas kesabaran kepada kami hingga beberapa bulan kemudian, berakhirlah masa-masa LDR kami itu. Allah memberikan kami kesempatan dan kemampuan untuk bisa tinggal bersama. Suatu hari suami saya datang menjemput saya dan anak untuk tinggal bersama dengannya di luar negeri
.
Ya, di sini saya menjalani peran penuh sebagai istri dan ibu yang tidak didampingi asisten dan jauh dari keluarga. Berat, menjalani rutinitas pekerjaan yang sama setiap hari, setelah sebelumnya terbiasa dalam titian karir. Karisma titian karir yang saya tinggalkan itu berganti dengan pengalaman luar biasa dalam hidup saya. serunya kejar-kejaran dengan anak, pekerjaan rumah, mendidik buah hati sesuai dengan visi misi berdua (dengan suami), belajar menjadi koki ala-ala, kursus bahasa, menimba ilmu, menulis, menikmati hobi yang lain, quality time bersama suami dan anak, video call dengan keluarga, bersosialisasi dengan orang-orang baru, menikmati kerinduan bertemu orang tua, menikmati up and down realita hidup bersama suami, berhemat supaya bisa jalan-jalan, mengenal banyak hal baru yang belum pernah saya temukan sebelumnya, serta melihat dunia yang berbeda sangat berbeda dari dunia saya sebelumnya, membuka mata saya, mengubah cara pandang saya akan dunia dan hidup ini.

Ke mana rejeki saya yang dulu? Alhamdulillah Allah masih memberikannya, dalam bentuk yang lain yang datangnya dengan cara tidak terduga, tidak ada surprise yang lebih indah daripada surprise yang datangnya dari-Nya. Sulit untuk mengungkapkan semuanya dengan kata-kata. Tapi saya bahagia, satu chapter dalam hidup saya sedang dilalui. Insya Allah akan memberi energi positif untuk chapter hidup saya selanjutnya nanti.

Leoben, Austria April 2017


<<< Cerita sebelumnya :

>>> Cerita sesudahnya :
Share:

Disclaimer

Dear reader, Nothing is perfect, demikian juga konten di blog ini. Oleh karena itu, terimakasih untuk komentar, sharing, saran, kritik dan untuk kunjungannya ke blog saya, yang walaupun imperfect namun semoga bermanfaat. ♥ vidya ♥

Labels

Drop me a message

Name

Email *

Message *

Recent Posts

About me

Empat tahun mengenyam pendidikan S1 Sekolah Farmasi, saya melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker satu tahun. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan saya berkesempatan berkarya di dunia industri kosmetik setelah saya lulus Pendidikan Profesi. Tiga tahun berkiprah di dunia itu, saya memutuskan berhenti sementara dari dunia karir demi berkumpul dengan keluarga kecil di Leoben, Austria

Saya mengenal blog semenjak kuliah profesi. Saya memiliki blog pribadi dan bergabung menjadi author di www.apotekerbercerita.com. Sebelumnya saya hanya menumpahkan isi pikiran di diary. Namun saya baru menyadari kecintaan menulis justru setelah berada di Austria. Dengan menulis saya banyak membaca dan belajar, mengingat, belajar berkomunikasi, belajar bertanggung jawab dan akhirnya saya mengijinkan diri saya sedikit berbangga dan bahagia meskipun mungkin menurut orang itu biasa saja hihi. Saya merasa ada yang terobati setiap bisa menyelesaikan satu judul tulisan. Maka saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti menulis.

Terimakasih kepada siapa saja yang sudah berkunjung, selamat membaca dan semoga konten webblog ini bisa bermanfaat.

Salam hangat,

Vidya