Sunday 4 April 2021

Mengapa Memilih Sekolah Farmasi ITB

Dalam rangka memperingati bertambahnya usia ITB, Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini mengajak saya kembali bernostalgia. Mengenang tentang alasan memilih jurusan di ITB.

Saya jadi teringat tahun itu. Tahun 2006, ketika tiba saatnya saya harus mendaftar kuliah dan memilih perguruan tinggi yang mana yang akan diperjuangkan. Di antara beberapa perguruan tinggi negeri yang ada di Pulau Jawa, sejujurnya saya tidak terbayang sebelumnya akan kuliah di ITB. Karena cita-cita saya waktu itu adalah menjadi dokter. Sementara ITB tidak memiliki jurusan kedokteran.

Kala itu saya sekolah di SMA 3 Yogyakarta.  Seterusnya tinggal di Yogyakarta adalah impian saya yang lain. Maka tak heran, jika lalu saya berharap bisa kuliah di  Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu universitas negeri yang prestasinya bersaing ketat dengan ITB.

Saya tidak pernah melirik perguruan tinggi lain. Pun saat teman-teman saya bereuforia dengan dibukanya pendaftaran ITB jalur mandiri. Saya tetap santai. Hati dan pikiran saya tetap terfokus ke UGM.

 

Ikut Ujian Perguruan Tinggi Jalur Mandiri sebagai Try Out

Beberapa bulan menjelang Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), try out masuk perguruan tinggi mulai banyak digelar oleh berbagai lembaga. Saya berusaha memyempatkan untuk selalu ikut. Latihan mental, tujuan utama saya. Tes ombak adalah tujuan berikutnya. Kira-kira kemampuan saya sudah sampai mana sih untuk mengejar cita-cita saya itu.

Mendekati jadwal SPMB, beberapa perguruan tinggi negeri mulai membuka pendaftaran jalur mandiri dan PMDK, termasuk UGM. Saya ikuti proses Ujian Masuk UGM jalur mandiri ini (UM-UGM). Saya berharap bisa diterima di jurusan incaran saya, kedokteran, melalui jalur ini, sehingga saya sudah bisa tenang lebih awal. Kalaupun tidak, di tahun itu saya masih akan punya satu kesempatan lagi, yaitu dengan ikut ujian SPMB.

Setelah UM-UGM, saya juga mengikuti saringan masuk Pendidikan Dokter Universitas Airlangga (Unair) jalur PMDK dan Ujian Saringan Masuk ITB (USM-ITB).

Jikalau rejeki saya diterima, maka bisa untuk cadangan. Tapi jika tidak, ya nothing to lose toh, karena impian saya sesungguhnya adalah Kedokteran UGM.

 

Tidak Ingin Membuat Ibu Kecewa

Meski hanya saya anggap try out, jalan untuk ikut USM ITB ternyata tidak semudah itu. Ternyata keputusan ini membuat ibu saya patah hati. Ibu sempat tidak mengijinkan. Bahkan saat saya menanyakan pendapat Ibu terkait pilihan jurusan di ITB yang akan saya pilih, Ibu saya memilih diam dan cemberut. 🙈

Lain halnya dengan Abah (ayah saya). Abah cenderung mendukung saja apa pilihan saya selagi itu baik.

Usut punya usut, ternyata Ibu saya suatu hari nanti ingin memiliki anak yang berprofesi sebagai dokter. Sementara Ayah saya berharap ada anaknya yang menjadi engineer. Harapan ayah saya sudah dipenuhi oleh kakak saya yang kuliah di Teknik Mesin. Sebagai anak bungsu, maka saya menjadi satu-satunya harapan ibu saat itu 😅

Perlu waktu beberapa hari untuk meyakinkan Ibu akan niat saya ikut USM ITB. Tampaknya teman-temannya juga banyak memberikan pencerahan terkait ITB sehingga akhirnya saya berhasil mengantongi restu Ibu untuk mendaftar USM ITB.

 

Pilihan Pertama Idealis, Pilihan Kedua Realistis

Tidak seperti saat mendaftar UM-UGM yang saya sudah yakin dengan jurusan yang hendak saya pilih, saat mendaftar ITB saya harus mempelajari dulu jurusan apa saja yang ditawarkan. Di titik ini, sejujurnya saya tidak terlalu serius dalam memilih. 

Saya mengingat-ingat hari ketika mas-mas dan mbak-mbak senior alumni SMA saya yang sudah menjadi mahasiswa ITB kembali ke sekolah. Mereka datang untuk memberikan pencerahan tentang ITB dan ujian masuknya, kepada kami adik-adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga. Mereka juga memotivasi kami untuk kuliah di ITB.

Dari pencerahan mereka, saya jadi berani tertarik untuk memilih Teknik Kimia. Saya rasa jurusan ini cocok untuk situasi saya saat itu, karena lingkup kerjanya kelak masih luas. Cocok untuk saya yang belum memiliki passion yang spesifik di bidang teknik.

Untuk meyakinkan diri, saya mencoba mengajak Ibu berdiskusi. Ternyata pandangan Ibu berbeda.

"Karena tidak ada kedokteran, sudah pilih apa aja yang terdekat dengan bidang kesehatan!"

Begitu saran Ibu saya. Maksud Ibu saya tak lain dan tak bukan adalah agar saya memilih jurusan Farmasi saja di ITB.

Awalnya saya ingin menjadikan Teknik Kimia di pilihan pertama, lalu Sekolah Farmasi di pilihan yang kedua. Tetapi Ibu saya masih belum srek jika Sekolah Farmasi di pilihan kedua. Akhirnya demi mendapat restu Ibu untuk ke Bandung, ketika mendaftar saya balik, Sekolah Farmasi pilihan pertama, dan Teknik Kimia pilihan kedua.

Setiap yang dengar pilihan saya ini pasti bernafas panjang. Hihi. Karena dua-duanya termasuk kelompok jurusan yang passing grade nya tinggi. Tapi bagi saya mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi jalur mandiri adalah nothing to lose. Menurut saya sebaiknya dipilih jurusan yang paling diminati. Terlalu idealis pun tidak apa-apa. Asal sesuai minat.

Nasehat dari mas-mas dan mbak-mbak senior tentang "Pilihan Pertama Idealis, Pilihan Kedua Realistis" saya simpan dulu untuk mendaftar SPMB, jika memang saya tidak diterima di seleksi mandiri.

 

Allah Maha Membolak-balikkan Hati

Saya sedang ada di Bandung ketika hari pengumuman UM-UGM. Saya di Bandung karena beberapa hari lagi waktunya tes USM-ITB. Saya deg-degan sekali hari itu. Akhirnya rasa was was saya terjawab. 

Saya tidak diterima di Pendidikan Dokter melalui jalur UM -UGM yang sudah saya ikuti.

Seketika saya langsung lemas.

"Mungkin kurang kenceng doanya, Vid." Begitu kata teman saya mencoba menyemangati. Ah ya mungkin saja ya.

Masih ada SPMB. Juga PMDK Unair yang belum pengumuman. Dalam hati saya. Meski begitu saya tidak bisa bohong kalau saya jadi khawatir juga meleset di SPMB. 

Sejak hari itu, saya tersadar bahwa setiap "pintu masuk kuliah" mestinya "diketuk" dengan serius. Karena kita tidak tau pintu mana yang sebetulnya jadi rejeki kita. 

Sejak saat itu, USM-ITB juga jadi lebih serius saya persiapkan. Tinggal beberapa hari lagi.

 

If You Get Tired, Learn to Rest, Not To Quit -Banksy

Setelah tes USM ITB, saya pulang ke Yogyakarta. Hati saya yang masih sedih bertambah sedihnya melihat suasana Yogyakarta yang baru tertimpa musibah.

Ya, gempa besar yang menghantam Jogja di tahun 2006. Saat gempa terjadi, saya baru tiba di Surabaya untuk tes PMDK UNAIR. Dari Surabaya saya langsung ke Bandung untuk tes USM-ITB. Jadi setelah USM, baru saya kembali lagi ke Jogja.

Tempat tinggal saya Alhamdulillah tidak apa-apa. Hanya barang-barangnya saja kacau berantakan. Kakak saya bilang, kamar saya sengaja tidak dibereskan supaya saya sendiri ikut menyaksikan efek gempa dahsyat itu. 

Perjalanan mengetuk pintu kuliah ini dari Jogja-Surabaya-Bandung-Jogja ternyata cukup melelahkan. Tapi sepertinya semakin terasa melelahkan lagi karena pengumuman hasil UM-UGM saya dinyatakan tidak lolos. Perjalanan saya masih panjang. Masih perlu banyak latihan soal SPMB. Tapi suasana hati kok tidak mendukung ya 😅

Saya putuskan istirahat dulu dari persiapan SPMB. Saya minta kakak menemani berkeliling Yogyakarta, dan apa yang saya dapati ternyata lebih memilukan lagi. Kota Bantul yang rata dengan tanah. 😭 Sejauh mata memandang, hanya reruntuhan rumah-rumah, kantor, gedung. Masyarakat tinggal di pengungsian. Sebagian lagi harus dirawat di Rumah Sakit. 

Di lain hari saya bertemu dengan sahabat-sahabat saya. Sebagian dari mereka sudah lolos UM-UGM. Sebagian lagi sama seperti saya, masih harus berjuang. Mereka menceritakan kejadian di hari H terjadinya gempa. Kacau, panik, kehilangan anggota keluarga, dan sedikit humor untuk meredakan ketegangan. Dalam hati saya, saya harusnya bersyukur, Allah sudah menyelamatkan saya dan keluarga saya dari musibah. Allah juga mengijinkan saya mencoba mengikuti tes beberapa perguruan tinggi ternama. Tidak semua orang punya kesempatan yang sama. Meski kali ini gagal, saya tetap harus semangat, pasti Allah punya rencana lain yang lebih indah. 

 

Saya Sempat Ragu 

Akhirnya tiba waktunya pengumuman PMDK UNAIR dan USM-ITB. UNAIR juga saya tidak lolos. Tapi tanpa saya sangka, ternyata saya lolos di pilihan pertama (Sekolah Farmasi) ITB. Senang sekali rasanya. Senang dan tenang karena sudah mendapat tempat di perguruan tinggi. Saya bisa pede memilih Pendidikan Dokter UGM sebagai pilihan pertama, karena saya pikir kalaupun, saya tetap bisa kuliah di ITB. 

Ketenangan itu ternyata tidak berlangsung lama. Karena setelah membaca lebih detail lagi tentang syarat pendaftaran ulang, ternyata hari daftar ulang bertepatan dengan hari tes SPMB. Sementara daftar ulang di ITB tidak boleh diwakilkan oleh orang lain dengan alasan apapun. Jadi? Saya harus memilih, ikut SPMB atau daftar ulang ITB?

 

Bukan Pilihan Mudah

Kalau saya memilih SPMB, saya bisa perjuangkan lagi Pendidikan Dokter UGM. Tapi kalau meleset alias tidak lolos lagi, sementara Farmasi ITB sudah dilepas.. ahh.. saya sulit membayangkannya. Mungkin juga jadi berat melepasnya karena pada waktu itu Sekolah Farmasi ITB menduduki peringkat pertama passing grade fakultas farmasi se-Indonesia.

Sementara kalau saya memilih daftar ulang Farmasi ITB, maka saya harus menutup "buku cita-citaku" yang ingin jadi dokter itu.

Saya tidak bisa memilih sendiri. Bertanya ke Ibu saya, Ibu saya lebih menyarankan saya ikut SPMB saja dengan pilihan ke dua sama-sama pendidikan dokter, tapi di universitas lain yang lebih realistis. Bagi ibu saya, jurusan pendidikan dokter adalah yang paling penting. Sementara bagi saya, minat kepada perguruan tinggi nya juga penting.

Saya pun istikhoroh. Berkali-kali. Dan entah bagaimana ceritanya hati saya tetap condong ke Farmasi ITB. 

Setelah saya sampaikan lagi ke Ibu dan Abah, beliau berdua pun akhirnya merestui.

 

Ridho Allah Bersama Ridho Orang Tua

Masuk ITB bersama ribuan mahasiswa baru dalam satu angkatan, disambut dengan Sidang Terbuka di Sabuga.

 Sempat merasa bersalah juga pada Ibu, karena tidak bisa memenuhi harapannya. Pernah merasa kesepian juga karena keluarga nun jauh di mato. Sempat down dan minder waktu adaptasi dengan lingkungan dan budaya baru yang jauh beda dengan di kampung halaman. Juga cukup kaget dengan pola belajar teman-teman sejurusan. Hahaha.. 

Alhamdulillah masih bisa lulus tepat waktu empat tahun kemudian dan tambah satu tahun lagi untuk belajar di pendidikan profesi Apoteker dengan beasiswa. 

Tentunya berkat ridho Allah, doa ibu dan usaha untuk bisa membahagiakan orang tua. Mungkin berkat ini juga, sebelum lulus saya berhasil mendapat posisi permanen di salah satu perusahaan kosmetik besar di Indonesia. Tiga tahun kemudian saya mencoba menceburkan diri ke dunia pelayanan farmasi di Apotek. Meski sekarang harus off dulu dari menjadi garda depan yang berkontribusi langsung dalam membangun kesehatan masyarakat yang berkualitas.

Dulu, mungkin saya berat move on dari cita-cita untuk jadi dokter. Tapi ternyata sekarang saya juga berat move on dari pekerjaan kefarmasian. Walaupun saat ini ada tanggung jawab lain yang harus saya lakukan dan situasi membuat saya belum bisa praktek lagi, tapi menimba ilmu dan edukasi ke masyarakat tetap bisa berlanjut. InsyaAllah tabungan jariyah. Aamiin.

 

<<< Cerita sebelumnya

Penerbangan Panjang bersama Anak Satu Tahun

KenaikanBerat Badan Bayi di Bawah Minimum 

Jaman Sudah Beda, Kenapa Tetap ngeBlog?

 

Share:

2 comments:

  1. Seru ceritanya teh. Kakak saya juga lulusan Farmasi ITB, angkatan '94.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih teh.. 🙏😳 wah kakak senior 😀🙌

      Delete

Disclaimer

Dear reader, Nothing is perfect, demikian juga konten di blog ini. Oleh karena itu, terimakasih untuk komentar, sharing, saran, kritik dan untuk kunjungannya ke blog saya, yang walaupun imperfect namun semoga bermanfaat. ♥ vidya ♥

Labels

Drop me a message

Name

Email *

Message *

Recent Posts

About me

Empat tahun mengenyam pendidikan S1 Sekolah Farmasi, saya melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker satu tahun. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan saya berkesempatan berkarya di dunia industri kosmetik setelah saya lulus Pendidikan Profesi. Tiga tahun berkiprah di dunia itu, saya memutuskan berhenti sementara dari dunia karir demi berkumpul dengan keluarga kecil di Leoben, Austria

Saya mengenal blog semenjak kuliah profesi. Saya memiliki blog pribadi dan bergabung menjadi author di www.apotekerbercerita.com. Sebelumnya saya hanya menumpahkan isi pikiran di diary. Namun saya baru menyadari kecintaan menulis justru setelah berada di Austria. Dengan menulis saya banyak membaca dan belajar, mengingat, belajar berkomunikasi, belajar bertanggung jawab dan akhirnya saya mengijinkan diri saya sedikit berbangga dan bahagia meskipun mungkin menurut orang itu biasa saja hihi. Saya merasa ada yang terobati setiap bisa menyelesaikan satu judul tulisan. Maka saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti menulis.

Terimakasih kepada siapa saja yang sudah berkunjung, selamat membaca dan semoga konten webblog ini bisa bermanfaat.

Salam hangat,

Vidya