Tak terasa sudah satu bulan lebih anak saya memulai kehidupan siang barunya di playgroup. Masa-masa yang sangat sulit untuk adaptasi sudah dilalui. Kini dia tampak sangat menikmati hari-harinya di sana.
Keputusan memasukkan anak ke playgroup tidak dengan begitu mudahnya diambil. Saya bersama suami mendiskusikannya selama berbulan-bulan. Apalagi karena saya tidak terikat jam kerja. Jangankan bagi orang lain, bagi diri saya sendiri pun ini agak aneh. Berpuluh kali saya tanyakan pada diri saya sendiri sebelum mendaftarkan anak ke playgroup, "akankah menjadi keputusan yang tepat?" dan "apakah saya sudah benar-benar yakin?". Bahkan saya sempat menyesali keputusan itu di hari-hari pertama anak saya di playgroup.
Empat minggu berlalu, melihat perkembangan positif pada anak saya dan yang terpenting dia bahagia, saya menjadi lega. Saya menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pun saya tidak lagi menyesali keputusan itu. Bahkan jika perkembangan positif ini terus tampak hingga akhir semester, saya berharap semester depan anak saya bisa diperpanjang lagi di playgroup itu. Yang agak saya sesalkan hanyalah satu, kantong yang perlu dirogoh cukup dalam. Hahaha..
Karena alasan di atas juga, membuat saya ingin menceritakan pengalaman saya, dimulai dari kenapa memutuskan playgroup untuk anak, memilih playgroup, hingga sharing proses adaptasinya. Karena panjang, maka akan saya bagi-bagi menjadi beberapa postingan. Hehe. Membacanya bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Perasaan butuh untuk memasukkan anak ke playgroup dimulai sejak perbincangan sok serius saya dengan istri dari profesor yang membimbing suami saya dalam project doktoratnya. Saat itu saya mengalami krisis percaya diri. Hehe. Saya yang seorang ibu rumah tangga, ingin kembali meniti karir begitu kesempatan itu ada. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya di bidang Farmasi semenjak saya dan anak menyusul suami saya yang sedang menempuh pendidikan doktorat di Austria. Mengurus sendirian, benar-benar sendirian (tanpa art maupun kerabat yang bisa dititipi anak barang sebentar) keluarga dan rumah dengan momongan berumur 1 tahun yang masih menyusui ternyata bukan hal mudah. Dua puluh empat jam dalam sehari tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan ibu rumah tangga. Pun kalau ditambah, masih tidak cukup juga karena bertambahnya waktu linear dengan bertambahnya item pekerjaan. Hahaha. Apa yang tidak sempat terkerjakan? Yah.. cuma rumah yang pabalatak.. masakan istimewa yang terhidang rapih dan menarik di atas meja.. perawatan diri.. wkkw.. dan tentunya.. AKTUALISASI DIRI. Setiap orang yang pernah membesarkan sendiri anak dari bayi hingga balita semestinya mengerti kondisi ini ;)
Bagi saya aktualisasi diri penting. Meskipun andaikata saya tidak ingin kembali berkarir, sebagai seorang Ibu dan istri tentu tetap perlu mengaktualisasi diri sendiri. Aktualisasi bukan lagi sekedar keinginan, akan tetapi kebutuhan. Karena Ibu adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Peran Ibu tentu besar untuk masa depan anak-anaknya. Juga terhadap suami, seorang istri tentunya senang menua bersama suami yang hebat dan mendambakan memiliki keluarga yang harmonis. Ingat 'kan, pepatah di belakang seorang lelaki hebat selalu ada wanita yang (lebih) hebat, dan itu bisa berarti Ibu nya maupun Istrinya. Bagaimana cara mengaktualisasi diri itu tergantung pilihan masing-masing dan disesuakan dengan kondisi juga kebutuhan masing-masing, bisa dengan cara berkarir maupun tidak.
Tinggal di negara dengan bahasa ibu bukan bahasa familiar bagi saya merupakan satu tantangan yang menarik dan sekaligus menjadi motivasi. Di negara ini, orang berbahasa Jerman dan jarang yang mau menggunakan bahasa Inggris. Untuk bisa bekerja di sini pun saya harus fasih berbahasa Jerman dan pekerjaan jenis tertentu dibutuhkan sertifikat. Yah.. menamatkan kursusnya kira-kira akan membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga tahun saja bila lancar. Haha.. Tentu saja saya cukup tertarik mencoba peruntungan dari beasiswa yang bertebaran.. kemudian bersekolah lagi. Lalu kemudian.. menimbang.. mengingat.. di kota ini tidak ada pendidikan tinggi untuk jurusan di bidang saya (persis maupun yang nyerempet-nyerempet) dan yang terdekat ada di kota sebelah yang kira-kira 1,5 jam jarak tempuhnya menggunakan kereta.. dengan keluarga yang sangat memerlukan perhatian penuh saya sepertinya untuk saat ini masih belum memungkinkan. Maka simpan dulu untuk sementara keinginan itu dan mari berfokus pada hal yang lebih urgent dan feasible, yap, MARI BELAJAR BAHASA JERMAN.
Di sini ibu yang baru melahirkan sangat dihargai pekerjaannya sebagai ibu. Dua tahun pertama mereka berhak cuti dari karirnya, dan menjadi Karenz alias ibu yang tidak berkarir karena "bekerja full time di rumah" setelah melahirkan anak. Bahkan ayahnya juga berhak mengambil cuti juga maksimal tiga bulan untuk membantu istrinya. Dan juga.. mereka akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah, sebagai kompensasi karena ibu menjadi Karenz. Nice, ya (tapi tidak perlu iri ya, ibu-ibu yang di negara lain berbeda kebijakannya, terutama di Indonesia karena situasinya tentu sangat berbeda).
Satu hal yang belum bisa saya mengerti adalah.. ketika ada seseorang perfeksionis yang menginginkan kondisi rumah orang lain selalu rapih bersih sempurna, masak hanya untuk sekali makan, dan hemat listrik meskipun harus mematikan pemanas di malam hari dan kedinginan :o:o Kondisi ideal seperti itu sudah hilang dari kamus saya sejak memiliki bayi... Dan semakin tidak bisa saya mengerti ketika beliau bilang seharusnya kami memiliki ART. Mungkin beliau pikir yang saya tanam di balkon adalah pohon uang?! 😥😥 Btw.. gaji ART saya sewaktu di Bandung 1 minggu kerja setengah hari = gaji ART di sini selama 1 jam. Wkwk..
Begitulah... kalau mau dikerucutkan, inilah alasan yang sesungguhnya kenapa akhirnya saya menitipkan buah hati tercinta di playgroup : (lah trus yang tadi panjang apa?? Hahaha..)
1. Saya butuh waktu untuk belajar bahasa Jerman. Pada mulanya saya hendak mendaftarkan diri kursus bahasa Jerman. Tapi entah kenapa, ketika anak saya sudah mendapatkan tempat di playgroup, nasib saya yang tidak mendapatkan tempat kursus semester ini. Wkwk.. mau tidak mau belajar sendiri (lagi). Hikmahnya.. tidak perlu bayar tempat kursus dan lebih hemat waktu dan uang untuk transport. Tapi ya jadi harus kuat iman, karena saya sendiri yang membuat dan mengontrol timetable nya, dan belajarnya di rumah.
2. Anak saya butuh teman bermain untuk belajar bersosialisasi. Satu-satunya teman main seumurannya juga masuk playgroup :D
3. Suami saya butuh waktu lebih untuk bertapa dalam rangka menyelesaikan disertasi dan ujian-ujian. Selama ini pulang ke rumah waktunya sebelum dan sesudah tidur dihabiskan untuk membantu membereskan pekerjaan di rumah yg belum selesai krn disambi ngurusin anak.
4. Saya miris melihat suami yang selalu kelaparan tiap pulang. Wkwk. Ini tandanya dia kurang ngemil di sela-sela jam kerja. Dia memang tipe yg ga terlalu suka ngemil sih. Kecuali.. e kecuali.. cemilannya menarik di mata dia.. yaitu, jajanan pasar. Wkwk. Gampang kan? Ya memang gampang.. kalau di Indonesia.. hiks.. masalahnya yang seperti itu tidak ada di sini, kalau mau ya mesti bikin sendiri.. (jangankan bikin jajan, masak hidangan pokok saja sering ga keuber, hiks)
5. Saya berharap rumah bisa lebih terawat dibanding sebelumnya.
Kemudian saya mulai mencari info seputar playgroup di kota ini. Juga minta share cerita dari teman yang anaknya sudah lebih dulu di playgroup. Ini nanti bermanfaat untuk menimbang-nimbang plus minusnya. Karena setiap langkah yang kita ambil tidaklah sempurna, selalu ada plus dan minusnya.
Cerita seputar playgroup di kota ini (Leoben, Austria) dan bagaimana kami menimbang-nimbang sampai akhirnya diputuskan salah satu playgroup bisa dibaca di sini.
Bagaimana dengan teman-teman para orang tua, adakah yang masih galau akan menitipkan anak atau sudah khatam menggalaunya? Ayo share di-comment... :)
Salam dari Leoben-Austria,
Vidya
0 comments:
Post a Comment