Sunday 14 May 2017

Imunisasi, Ya atau Tidak?

Suatu hari saya membaca sebuah status emosional yang kebetulan muncul di timeline facebook saya. Seseorang sedang menyatakan untuk say no pada vaksin dan mengajak teman-temannya untuk juga tidak usah mengimunisasikan anaknya. Dia baru saja memutuskan anak kedua dan ketiganya untuk tidak diimunisasi sama sekali, alasannya karena anak pertamanya baru saja terkena hepatitis B padahal sudah pernah diimunisasi.

Vaksin saat ini berkembang semakin banyak jenisnya. Saya amati banyak sekali orang tua muda yang bertanya-tanya, apakah buah hatinya harus diimunisasi lengkap atau tidak. Salah satu penyebab kebingungan adalah karena adanya kelompok vaksin wajib (yang disubsidi oleh pemerintah) dan vaksin tidak wajib tapi direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Ada juga orang tua yang pernah bertanya-tanya, jangan-jangan vaksin kini tak lain hanyalah produk “bisnis”. Sebagian lagi karena khawatir akan keamanan vaksin. Ini soalnya buah hati ya. Sayapun punya anak sehingga bisa merasakan betapa ingin memberikan perlindungan terbaik untuk buah hati. Tapi manakah yang terbaik, imunisasi atau tidak?

Dear ayah bunda, tetap tenang dan tidak perlu bingung. Untuk memantapkan hati kita cukup perlu merefresh lagi pemahaman kita tentang vaksin dan menggali informasi sedalam-dalamnya. Bisa dengan berkonsultasi secara langsung kepada praktisi kesehatan yang dipercaya atau mengulik sendiri informasi yang valid tentang vaksin dari media. Namun hati-hati dalam memilih media. Sebaiknya pilihlah media yang sudah jelas terpercaya, misalnya jika dari internet, website resmi Ikatan Dokter AnakIndonesia atau website Biofarma (produsen vaksin milik negara Indonesia). Atau website lain dengan domain ".gov" atau ".org". Sebetulnya informasi lengkap tentang setiap vaksin (hingga ringkasan laporan hasil penelitiannya) bisa juga diunduh dengan mudah di website resmi WHO. Hanya memang menggunakan bahasa Inggris.

Mengapa imunisasi itu perlu? Imunisasi adalah cara untuk memancing respon imun tubuh, agar memiliki kekebalan alami terhadap infeksi pernyakit tertentu. Jika suatu saat nanti ternyata bakteri atau virus penyebab infeksi memapar tubuh, tubuh sudah siap dengan antibodi alaminya untuk melawan paparan bakteri atau virus tersebut. Sehingga tubuh terhindar dari infeksi atau kalaupun sakit, tidak separah jika infeksi datang sebelum kita diimunisasi.

Kemajuan teknologi juga berefek pada meningkatnya imigrasi (perpindahan penduduk). Ingat bahwa, berpindahnya seseorang dari suatu daerah ke daerah sangat mungkin membawa serta bakteri atau virus yang endemik di daerah sebelumnya.

Anak-anak usia sekolah paling rentan terinfeksi karena sistem imunnya umumnya belum sesiap kita orang dewasa. Mereka bisa mendapatkan infeksi dari mana saja, lingkungan sekolah (temannya yang terlebih dahulu terinfeksi misalnya), di jalan, lingkungan bergaul di sekitar rumah, dan sebagainya. Mereka juga sangat mungkin menularkan pada anak-anak pra sekolah dan anak-anak lebih muda yang belum diimunisasi ataupun memang belum waktunya diimunisasi.

Hampir semua vaksin yang sudah ada di dunia ini adalah vaksin untuk mencegah infeksi penyakit serius, yang bisa berdampak pada gejala sakit parah, kecacatan, atau bahkan kematian.

Pertimbangkan juga 3 hal di bawah ini jika Ayah Bunda belum mantap untuk mengimunisasikan buah hatinya 

Dalam memantapkan diri untuk mengimunisasikan buah hati, biasanya hal-hal berikut ini yang dipertimbangkan :

1.      1.  Masalah Keamanan dan Mutu Vaksin

Jika kekhawatiran ayah dan ibu adalah masalah keamanan, maka sesungguhnya ayah dan ibu tidak perlu khawatir karena vaksin yang resmi aman untuk digunakan.

Vaksin baru sebelum digunakan oleh masyarakat sudah diteliti selama bertahun-tahun dan juga terus di-review dengan hati-hati oleh para ilmuwan, dokter, pemerintah, dan lembaga kesehatan dunia untuk memastikan keamanannya. Total waktu  penelitian ini bisa memerlukan waktu hingga 12 tahunan.

Proses produksi vaksin juga harus mengikuti regulasi Cara Pembuatan Obat yang Baik yang terstandarisasi dan mengacu pada Good Manufacturing Process yang juga dilakukan di negara-negara maju di dunia. ini dilakukan agar kualitas vaksin terjaga. Sebelum diedarkan, setiap lot produk vaksin harus lulus uji mutu (Quality Control) dan  uji jaminan mutu (Quality Assurance) yang dilakukan oleh produsen vaksin, serta lulus pemeriksaan BPOM. Jadi pengawasannya bertingkat. Setelah lulus, setiap lot vaksin akan diberi sertifikat lulus uji oleh BPOM. Ini untuk menjaga kualitasnya.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, jika Ayah Bunda ragu, konsultasikan pada praktisi kesehatan atau mempelajari info lengkapnya di website yang terpercaya.

2.      2.  Masalah Efek Vaksin

Seperti obat, vaksin juga mengenal efek samping dan tentunya efek yang diharapkan.

Efek samping tiap vaksin berbeda-beda, tapi umumnya efek sampingnya minor seperti radang pada bagian kulit yang diimunisasi atau sedikit demam selama beberapa hari setelah imunisasi. Efek samping bisa muncul bisa tidak. Efek samping serius yang bisa muncul seperti reaksi alergi misalnya. Oleh karena itu informasikan juga pada dokter jika buah hati punya riwayat alergi terhadap bahan tertentu. Informasi efek samping setiap vaksin juga bisa dipelajari di website yang terpercaya tadi.

Sebagian orang tua yang ragu mengimunisasikan buah hatinya juga mungkin mempertanyakan apakah vaksin akan memberikan efek yang diharapkan. Efek yang diharapkan biasanya disebut sebagai efikasi. Seperti sudah saya sampaikan tadi, sebelum dipasarkan, vaksin sudah melalui tahap penelitian panjang. Di antara tahap penelitian itu, juga bertujuan untuk melihat efikasinya. Hasil penelitian efikasi biasanya menunjukkan persentase keberhasilannya. Misalnya persentase keberhasilannya 99%, maka dari 100 orang yang diimunisasi saat penelitian, hanya 1 yang tetap terjangkit penyakitnya, namun umumnya lebih tidak parah dibanding jika tidak menerima imunisasi sebelumnya. Kalau ragu, konsultasikan saja terlebih dahulu kepada dokter.

3.       3. Masalah Sosial, Ekonomi, dan Agama

Beberapa orang mungkin pernah mendengar bahwa ada beberapa jenis vaksin tertentu yang dalam prosesnya menggunakan atau bersentuhan dengan bahan yang berasal dari hewan tertentu yang tidak diperbolehkan oleh agama atau bertentangan dengan norma sosial.

Bersyukurlah kita yang tinggal di Indonesia karena perusahaan vaksin milik negara Indonesia tidak menggunakan bahan yang berasal dari hewan. Ini dinyatakan di website resminya dan juga dalam suatu kuliah yang pernah saya hadiri, Bapak Dirut Biofarma saat itu juga menyatakan bahwa perusahaan itu menghindari menggunakan bahan yang bertentangan dengan norma agama dan sosial masyarakat kita.

Ada satu vaksin yang beredar di Indonesia yang dalam prosesnya memang bersentuhan dengan bagian tubuh Babi, namun pernah diklarifikasi bahwa proses itu tidak bisa dihilangkan dan itu sudah melalui proses pembilasan berkali-kali sehingga tidak mengandung lagi unsur Babi pada produk akhir. Untuk hal ini, MUI juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa untuk vaksin tersebut, hukumnya diperbolehkan, selama belum ada penggantinya. Alhamdulillah bagi kita yang muslim dan tinggal di Indonesia, kerja sama yang baik antara produsen vaksin, pemerintah, dan MUI bisa memberikan ketenangan pada kita dalam menyikapi masalah vaksin ini.

Bagaimana mempertimbangkan faktor ekonomi dalam memutuskan imunisasi atau tidak? Gampang saja, pertimbangkan berapa biaya imunisasi yang Ayah dan Bunda perlukan untuk jenis penyakit tertentu. Lalu bandingkan dengan kerugian kalau buah hati tidak diimunisasikan, lalu (nauzubillahimindzalik) dia terinfeksi sebelum mendapatkan vaksin itu.

Contoh, ini pengalaman pribadi saya sendiri. Saya tidak mengimunisasikan anak saya rotavirus (untuk melawan virus yang menyebabkan infeksi saluran cerna, gejalanya demam, diare dan muntah-muntah berat). Vaksin rotavirus direkomendasikan oleh IDAI tapi waktu itu belum termasuk vaksin wajib. Saya harus membayar cukup mahal, berdekatan dengan itu, ada imunisasi lain yang juga mahal harganya. Karena saya pikir-pikir infeksi rotavirus itu kan hubungannya dengan higienitas, sementara saya yakin akan higienitas lingkungan anak saya, sehingga saya putuskan untuk tidak mengimunisasikan anak saya rotavirus.

Sekitar 1,5 tahun kemudian, di negara yang berbeda, di Austria, ternyata anak saya terkena infeksi virus ini. Sumbernya tidak disangka-sangka, akibat kontak dengan temannya yang ternyata sedang terserang virus ini di hari pertama, sementara orang tuanya belum menyadarinya.

Anak saya berumur 2 tahun, dia harus dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu. Temannya tidak harus dirawat di rumah sakit, dia sudah pernah mendapatkan imunisasi ini dan umurnya juga 1 tahun lebih besar.

Total biaya rumah sakit yang harus kami keluarkan kurang lebih 3 kali lipat biaya imunisasi vaksin rotavirus, padahal ini sudah dibantu dengan asuransi. Belum kerugian waktu. Anak kami kehilangan waktu bermain, bereksplorasi, sebaliknya dia tergolek lemah di rumah sakit. Selama satu minggu saya ikut tinggal di rumah sakit karena anak saya tidak mau lepas dari saya. Di malam hari hanya saya sendiri yang menemani anak saya karena memang sudah ketentuan dari rumah sakit, hanya satu orang yang boelh menemani. Suami saya di siang hari ijin tidak ke kantor karena jelas kepikiran anaknya yang dirawat di rs, sementara kami bertiga jauh dari keluarga besar. Belum lagi energi yang dikeluarkan, stress, dan juga menyita pikiran keluarga besar. Sepulang anak saya dari RS, gantian suami yang terkena virus ini. Pada saat itu saya dan pihak RS juga menyesalkan anak saya tidak diimunisasi rotavirus. Sejak saat itu betul-betul deh ya, saya bertekad untuk memperjuangkan anak saya mendapatkan semua imunisasi yang sudah ada..

Sekarang, yuk sama-sama jadi masyarakat yang bijak dalam menyikapi vaksin. Jangan dulu katakan tidak pada imunisasi sebelum mempertimbangkan ketiga aspek di atas. Meskipun pada akhirnya keputusan ada pada masing-masing, namun sebaiknya dipertimbangkan juga matang-matang termasuk untung dan ruginya.

Keputusan untuk tidak mengimunisasikan anak terutama untuk vaksin-vaksin yang mencegah penyakit serius ini sama artinya dengan membiarkan anak dan siapapun di sekitarnya untuk terinfeksi penyakit serius. Iya, masalah sakit sudah diatur oleh Allah. Namun berikhtiar untuk tidak terserang penyakit adalah kewajiban kita. Imunisasi adalah salah satu pilihan jalan untuk ikhtiar itu.






Share:

0 comments:

Post a Comment

Disclaimer

Dear reader, Nothing is perfect, demikian juga konten di blog ini. Oleh karena itu, terimakasih untuk komentar, sharing, saran, kritik dan untuk kunjungannya ke blog saya, yang walaupun imperfect namun semoga bermanfaat. ♥ vidya ♥

Labels

Drop me a message

Name

Email *

Message *

Recent Posts

About me

Empat tahun mengenyam pendidikan S1 Sekolah Farmasi, saya melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker satu tahun. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan saya berkesempatan berkarya di dunia industri kosmetik setelah saya lulus Pendidikan Profesi. Tiga tahun berkiprah di dunia itu, saya memutuskan berhenti sementara dari dunia karir demi berkumpul dengan keluarga kecil di Leoben, Austria

Saya mengenal blog semenjak kuliah profesi. Saya memiliki blog pribadi dan bergabung menjadi author di www.apotekerbercerita.com. Sebelumnya saya hanya menumpahkan isi pikiran di diary. Namun saya baru menyadari kecintaan menulis justru setelah berada di Austria. Dengan menulis saya banyak membaca dan belajar, mengingat, belajar berkomunikasi, belajar bertanggung jawab dan akhirnya saya mengijinkan diri saya sedikit berbangga dan bahagia meskipun mungkin menurut orang itu biasa saja hihi. Saya merasa ada yang terobati setiap bisa menyelesaikan satu judul tulisan. Maka saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti menulis.

Terimakasih kepada siapa saja yang sudah berkunjung, selamat membaca dan semoga konten webblog ini bisa bermanfaat.

Salam hangat,

Vidya