Makna judul tulisan saya ini mungkin menyuarakan hati sebagian istri yang sedang atau sudah mendampingi
suami sekolah di luar negeri. Bagi sebagian yang lain, mungkin sebaliknya. Sementara
bagi saya?
Sejak sebelum menikah, saya sudah
tau bahwa calon suami saya mungkin suatu hari nanti harus melanjutkan sekolah
di luar negeri, bukan setahun atau dua.. tapi minimal tiga tahun. Sementara
saya, yang dalam diri saya saat itu mengalir darah muda, tersimpan energi
besar, dan haus untuk mengejar ambisi dan cita-cita di masa depan, tidak ambil
pusing. Bagi saya saat itu, kalau mesti LDR dulu selama suami saya sekolah di
luar negeri, kenapa mesti takut?!
Seorang teman saya saat kuliah,
justru berpandangan sebaliknya. Baginya, keliling dunia adalah salah satu passion-nya.
Bahkan dia menantang calon suaminya untuk sanggup mengajaknya keliling dunia
setelah mereka menikah. Matre! Demikian celoteh saya sambil tertawa. Maka
dialah yang pertama kali menentang keberanian saya untuk LDR selama suami
sekolah di luar negeri. Katanya, "demi apa lo rela LDR? Demi kerja banting
tulang buat siapa? Kalau suami gue yang nanti sekolah ke luar negeri, ya gue
bakal ikutlah, ga semua orang bisa jalan-jalan ke luar negeri, apa lagi sampai
tinggal di sana."
Sungguh semua bagian perkataan teman
saya saat itu terdengar matre di telinga saya. Matanya tampak duitan di mata
saya. Tapi nyatanya, kata-katanya malah terngiang-ngiang terus di pikiran saya.
Waktu terus berlalu. Kami sudah
menikah. Saya berhasil meraih cita-cita karir saya semenjak sebelum menikah.
Bekerja di industri kosmetik dalam negeri, turut berjuang mengharumkan nama
bangsa di mata bangsa kita sendiri minimal, dan di kancah internasional, melakukan
pekerjaan yang saya cintai, dikelilingi oleh orang-orang yang baik, dan dibayar
dengan jumlah yang melebihi ekspektasi awal saya. Dari situ saya belajar
menabung dan bersedekah. Masa-masa itu saya seperti sedang on fire. Semuanya on
the track seperti yang saya inginkan. Meskipun satu yang belum tercapai...
berhenti LDR. Ya, sejak menikah, kami memang sudah LDR karena saya dan suami bekerja di kota yang berbeda.
Suatu hari suami saya
memberanikan dirinya untuk jujur. Dia meminta saya untuk berhenti LDR. Kala
itu, saya sedang hamil. Alasannya sederhana. Beberapa bulan lagi tiba waktunya
ia harus berangkat ke luar negeri untuk sekolah. Momen dalam hidupnya yang
sudah ia tunggu-tunggu selama ini. Apa iya, dari sejak menikah, sampai
berangkat sekolah ke luar negeri, kita belum pernah tidak LDR?
Saya memintanya bersabar untuk
menunggu saya berpikir dan memantapkan hati. Sesungguhnya keluarga adalah
prioritas saya, tapi apa iya saya harus berhenti sekarang, di saat karir saya
sedang baik dan di kala ia akan berangkat ke luar negeri selama bertahun-tahun
sementara saya entah kapan bisa menyusulnya bersama anak kami?
Saya bertanya kepada Yang Kuasa,
memohon petunjuk dari-Nya. Saya berusaha berpikir logis selama berhari-hari. Tetapi
semakin hari realita justru yang menjadi tidak logis. Mendadak apa yang saya
cintai dari karir saya menjadi berbeda. Ini seperti kalau kita sedang menonton
video, flow-nya terus-menerus maju, dan semakin seru, lalu tiba-tiba videonya jadi
lambat, ceritanya monoton, dan membosankan, bahkan, menjadi suram. Video itu
adalah gambaran karir saya waktu itu.
Bagi saya ini seperti tamparan
dari Allah. Saya berusaha mempertahankan untuk bekerja di suatu tempat yang
atasnya suami saya tidak ridho. saya sudah mempertahankan apa yang menurut saya
baik untuk saya dan keluarga saya kelak, tapi sebaik-baiknya hal yang baik,
adalah yang baik menurut Allah, dan mentaati permintaan suami selama itu bukan
di jalan yang mungkar adalah salah satunya...
Tak berselang lama semenjak saya
berhenti, rejeki tetap terus mengalir Alhamdulillah. Saya tetap melakukan apa
yang saya suka kerjakan, praktek di dunia saya dunia kefarmasian dan masih berkiprah
pula untuk industri yang secara fisik sudah saya tinggalkan itu, dan saya
dibayar untuk itu serta ditambah dengan momen indah sebagai seorang ibu yang
bisa bersama dengan anaknya hampir di seluruh waktunya. Ya, saya tetap bekerja.
Tawaran pekerjaan itu datang sendiri tanpa saya yang melamar. Bukan satu, tapi empat.
Dan semuanya bisa saya kerjakan di dekat anak saya yang baru lahir. Nikmat
dunia mana yang hendak kau dustakan?
Menjelang keberangkatan suami ke
luar negeri hingga bulan-bulan awal setelah keberangkatannya, kami menerima
banyak sekali kunjungan dari teman dan kerabat. Kunjungan dalam rangka menengok
anak kami yang baru lahir sebetulnya. Maka topik apakah saya akan segera
menyusul hampir tak pernah luput dari perbincangan.
Di antaranya sangat mendukung
saya dan anak kami segera menyusul, buah bibir yang ternyata sangat memotivasi
dan menyemangati kami, tapi tak sedikit juga yang nyinyir. “Ngapain kamu
ikut-ikutan segala? Terus ngapain di sana? Ngurus suami sama anak aja? Sayang
banget gelarmu.” Dan lain sebagainya yang senada. Helloooo apa salahnya ya
tinggal bareng dan ngurus suami dan anak sendiri? Tapi ya, boro-boro kalimat
ini terucap untuk menjawab mak nyinyir.. yang ada hati malah menjadi galau. Dududu...
Saya sudah lelah mempertanyakan
hal-hal duniawi. Toh hidup yang kekal hanya di akhirat. Sejak punya anak, saya
merasa kematian itu menjadi semakin nyata. Kematian tak terlihat lagi sebagai
akhir dari segalanya, tapi justru awal dari kehidupan yang kekal di akhirat. Ditambah
lagi kehadiran buah hati kami, yang ingin kami tumbuhkan dalam lingkungan cinta
kasih kedua orang tua nya semaksimal mungkin.
Berkaca dari pengalaman saya
sebelumnya, saat-saat bimbang untuk berhenti kerja, saya putuskan sudah dengan
bismillah, saya hanya akan niatkan semuanya yang di depan sebagai ibadah. Saya
jalani peran utama saya sebagai istri dan ibu karena ibadah. Dan itu menjadi
yang utama bagi saya. Pekerjaan dan rejeki adalah hal yang bobot duniawi nya lebih besar bagi saya yang seorang wanita bersuami, akan saya kejar sebisa
saya, tapi prioritas saya bukan itu lagi. Saya yakin, insyaAllah rejeki sudah
dijamin oleh Allah. Toh saya sudah membuktikannya sendiri.
Bulan-bulan awal setelah
keberangkatan suami ke luar negeri adalah masa-masa terpelik dalam sejarah LDR
rumah tangga kami waktu itu. Ironis, kami hidup di jaman di mana teknologi
sudah sangat sangat maju, tapi ternyata komunikasi ga segampang itu dijalani. Kurang
lebih lima sampai enam jam perbedaan waktu antara kami. Suami sudah bangun
pagi, saya masih terlelap kelelahan di tengah malam. Suami istirahat siang di
kantornya, saya di Indonesia masih pagi, jam-jamnya rempong rutinitas pagi sama
anak bayi yang baru bangun. Suami saya pulang dari kantor, jam saya bekerja. Jam
kerja saya selesai, suami sudah terlelap di malam hari. Hahaha.
Alhamdulillah Allah memberikan hadiah atas kesabaran kepada kami hingga beberapa bulan kemudian, berakhirlah masa-masa LDR
kami itu. Allah memberikan kami kesempatan dan kemampuan untuk bisa tinggal bersama. Suatu hari suami saya datang menjemput saya dan anak untuk tinggal
bersama dengannya di luar negeri
.
Ya, di sini saya menjalani peran
penuh sebagai istri dan ibu yang tidak didampingi asisten dan jauh dari keluarga. Berat, menjalani
rutinitas pekerjaan yang sama setiap hari, setelah sebelumnya terbiasa dalam
titian karir. Karisma titian karir yang saya tinggalkan itu berganti dengan
pengalaman luar biasa dalam hidup saya. serunya kejar-kejaran dengan anak,
pekerjaan rumah, mendidik buah hati sesuai dengan visi misi berdua (dengan
suami), belajar menjadi koki ala-ala, kursus bahasa, menimba ilmu, menulis, menikmati
hobi yang lain, quality time bersama suami dan anak, video call dengan
keluarga, bersosialisasi dengan orang-orang baru, menikmati kerinduan bertemu orang tua, menikmati up and down realita hidup bersama suami, berhemat
supaya bisa jalan-jalan, mengenal banyak hal baru yang belum pernah saya
temukan sebelumnya, serta melihat dunia yang berbeda sangat berbeda dari dunia
saya sebelumnya, membuka mata saya, mengubah cara pandang saya akan dunia dan
hidup ini.
Ke mana rejeki saya yang dulu?
Alhamdulillah Allah masih memberikannya, dalam bentuk yang lain yang datangnya
dengan cara tidak terduga, tidak ada surprise yang lebih indah daripada
surprise yang datangnya dari-Nya. Sulit untuk mengungkapkan semuanya dengan
kata-kata. Tapi saya bahagia, satu chapter dalam hidup saya sedang dilalui.
Insya Allah akan memberi energi positif untuk chapter hidup saya selanjutnya
nanti.
<<< Cerita sebelumnya :
Mengurus Ijin Tinggal untuk Mendampingi Suami Sekolah di Austria, Mengajukan Visa Schengen Austria untuk Mendampingi Suami Sekolah
>>> Cerita sesudahnya :
0 comments:
Post a Comment