Dalam rangka memperingati bertambahnya usia ITB, Tantangan
Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini mengajak saya kembali
bernostalgia. Mengenang tentang alasan memilih jurusan di ITB.
Saya jadi teringat tahun itu. Tahun 2006, ketika tiba saatnya saya
harus mendaftar kuliah dan memilih perguruan tinggi yang mana yang akan
diperjuangkan. Di antara beberapa perguruan tinggi negeri yang ada di Pulau
Jawa, sejujurnya saya tidak terbayang sebelumnya akan kuliah di ITB. Karena
cita-cita saya waktu itu adalah menjadi dokter. Sementara ITB tidak memiliki
jurusan kedokteran.
Kala itu saya sekolah di SMA 3 Yogyakarta. Seterusnya
tinggal di Yogyakarta adalah impian saya yang lain. Maka tak heran, jika lalu
saya berharap bisa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
(UGM), salah satu universitas negeri yang prestasinya bersaing ketat dengan
ITB.
Saya tidak pernah melirik perguruan tinggi lain. Pun saat
teman-teman saya bereuforia dengan dibukanya pendaftaran ITB jalur mandiri.
Saya tetap santai. Hati dan pikiran saya tetap terfokus ke UGM.
Ikut Ujian Perguruan Tinggi Jalur Mandiri
sebagai Try Out
Beberapa bulan menjelang Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB), try out masuk perguruan tinggi mulai banyak digelar
oleh berbagai lembaga. Saya berusaha memyempatkan untuk selalu ikut. Latihan
mental, tujuan utama saya. Tes ombak adalah tujuan berikutnya. Kira-kira
kemampuan saya sudah sampai mana sih untuk mengejar cita-cita
saya itu.
Mendekati jadwal SPMB, beberapa perguruan tinggi negeri mulai
membuka pendaftaran jalur mandiri dan PMDK, termasuk UGM. Saya ikuti proses
Ujian Masuk UGM jalur mandiri ini (UM-UGM). Saya berharap bisa diterima di
jurusan incaran saya, kedokteran, melalui jalur ini, sehingga saya sudah bisa
tenang lebih awal. Kalaupun tidak, di tahun itu saya masih akan punya satu
kesempatan lagi, yaitu dengan ikut ujian SPMB.
Setelah UM-UGM, saya juga mengikuti saringan masuk Pendidikan
Dokter Universitas Airlangga (Unair) jalur PMDK dan Ujian Saringan Masuk ITB
(USM-ITB).
Jikalau rejeki saya diterima, maka bisa untuk cadangan. Tapi jika
tidak, ya nothing to lose toh, karena impian saya sesungguhnya
adalah Kedokteran UGM.
Tidak Ingin Membuat Ibu Kecewa
Meski hanya saya anggap try out, jalan untuk ikut USM
ITB ternyata tidak semudah itu. Ternyata keputusan ini membuat ibu saya patah
hati. Ibu sempat tidak mengijinkan. Bahkan saat saya menanyakan pendapat Ibu
terkait pilihan jurusan di ITB yang akan saya pilih, Ibu saya memilih diam dan
cemberut. 🙈
Lain halnya dengan Abah (ayah saya). Abah cenderung mendukung saja
apa pilihan saya selagi itu baik.
Usut punya usut, ternyata Ibu saya suatu hari nanti ingin memiliki
anak yang berprofesi sebagai dokter. Sementara Ayah saya berharap ada anaknya
yang menjadi engineer. Harapan ayah saya sudah dipenuhi oleh kakak
saya yang kuliah di Teknik Mesin. Sebagai anak bungsu, maka saya menjadi
satu-satunya harapan ibu saat itu 😅
Perlu waktu beberapa hari untuk meyakinkan Ibu akan niat saya ikut
USM ITB. Tampaknya teman-temannya juga banyak memberikan pencerahan terkait ITB
sehingga akhirnya saya berhasil mengantongi restu Ibu untuk mendaftar USM ITB.
Pilihan Pertama Idealis, Pilihan Kedua Realistis
Tidak seperti saat mendaftar UM-UGM yang saya sudah yakin dengan
jurusan yang hendak saya pilih, saat mendaftar ITB saya harus mempelajari dulu
jurusan apa saja yang ditawarkan. Di titik ini, sejujurnya saya tidak terlalu
serius dalam memilih.
Saya mengingat-ingat hari ketika mas-mas dan mbak-mbak senior
alumni SMA saya yang sudah menjadi mahasiswa ITB kembali ke sekolah. Mereka
datang untuk memberikan pencerahan tentang ITB dan ujian masuknya, kepada kami
adik-adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga. Mereka juga memotivasi kami
untuk kuliah di ITB.
Dari pencerahan mereka, saya jadi berani tertarik untuk memilih
Teknik Kimia. Saya rasa jurusan ini cocok untuk situasi saya saat itu, karena
lingkup kerjanya kelak masih luas. Cocok untuk saya yang belum memiliki passion
yang spesifik di bidang teknik.
Untuk meyakinkan diri, saya mencoba mengajak Ibu berdiskusi.
Ternyata pandangan Ibu berbeda.
"Karena tidak ada kedokteran, sudah pilih apa aja yang
terdekat dengan bidang kesehatan!"
Begitu saran Ibu saya. Maksud Ibu saya tak lain dan tak bukan
adalah agar saya memilih jurusan Farmasi saja di ITB.
Awalnya saya ingin menjadikan Teknik Kimia di pilihan pertama,
lalu Sekolah Farmasi di pilihan yang kedua. Tetapi Ibu saya masih belum srek jika
Sekolah Farmasi di pilihan kedua. Akhirnya demi mendapat restu Ibu untuk ke
Bandung, ketika mendaftar saya balik, Sekolah Farmasi pilihan pertama, dan
Teknik Kimia pilihan kedua.
Setiap yang dengar pilihan saya ini pasti bernafas panjang. Hihi.
Karena dua-duanya termasuk kelompok jurusan yang passing grade nya
tinggi. Tapi bagi saya mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi jalur mandiri
adalah nothing to lose. Menurut saya sebaiknya dipilih jurusan yang
paling diminati. Terlalu idealis pun tidak apa-apa. Asal sesuai minat.
Nasehat dari mas-mas dan mbak-mbak senior tentang "Pilihan
Pertama Idealis, Pilihan Kedua Realistis" saya simpan dulu untuk mendaftar
SPMB, jika memang saya tidak diterima di seleksi mandiri.
Allah Maha Membolak-balikkan Hati
Saya sedang ada di Bandung ketika hari pengumuman UM-UGM. Saya di
Bandung karena beberapa hari lagi waktunya tes USM-ITB. Saya deg-degan sekali
hari itu. Akhirnya rasa was was saya terjawab.
Saya tidak diterima di Pendidikan Dokter melalui jalur UM -UGM
yang sudah saya ikuti.
Seketika saya langsung lemas.
"Mungkin kurang kenceng doanya, Vid." Begitu kata teman
saya mencoba menyemangati. Ah ya mungkin saja ya.
Masih ada SPMB. Juga PMDK Unair yang belum pengumuman. Dalam hati
saya. Meski begitu saya tidak bisa bohong kalau saya jadi khawatir juga meleset
di SPMB.
Sejak hari itu, saya tersadar bahwa setiap "pintu masuk
kuliah" mestinya "diketuk" dengan serius. Karena kita tidak tau
pintu mana yang sebetulnya jadi rejeki kita.
Sejak saat itu, USM-ITB juga jadi lebih serius saya persiapkan.
Tinggal beberapa hari lagi.
If You Get Tired, Learn to Rest, Not To Quit
-Banksy
Setelah tes USM ITB, saya pulang ke Yogyakarta. Hati saya yang
masih sedih bertambah sedihnya melihat suasana Yogyakarta yang baru tertimpa
musibah.
Ya, gempa besar yang menghantam Jogja di tahun 2006. Saat gempa
terjadi, saya baru tiba di Surabaya untuk tes PMDK UNAIR. Dari Surabaya saya
langsung ke Bandung untuk tes USM-ITB. Jadi setelah USM, baru saya kembali lagi
ke Jogja.
Tempat tinggal saya Alhamdulillah tidak apa-apa. Hanya
barang-barangnya saja kacau berantakan. Kakak saya bilang, kamar saya sengaja
tidak dibereskan supaya saya sendiri ikut menyaksikan efek gempa dahsyat
itu.
Perjalanan mengetuk pintu kuliah ini dari
Jogja-Surabaya-Bandung-Jogja ternyata cukup melelahkan. Tapi sepertinya semakin
terasa melelahkan lagi karena pengumuman hasil UM-UGM saya dinyatakan tidak
lolos. Perjalanan saya masih panjang. Masih perlu banyak latihan soal SPMB.
Tapi suasana hati kok tidak mendukung ya 😅
Saya putuskan istirahat dulu dari persiapan SPMB. Saya minta kakak
menemani berkeliling Yogyakarta, dan apa yang saya dapati ternyata lebih
memilukan lagi. Kota Bantul yang rata dengan tanah. 😭 Sejauh mata memandang, hanya reruntuhan
rumah-rumah, kantor, gedung. Masyarakat tinggal di pengungsian. Sebagian lagi
harus dirawat di Rumah Sakit.
Di lain hari saya bertemu dengan sahabat-sahabat saya. Sebagian
dari mereka sudah lolos UM-UGM. Sebagian lagi sama seperti saya, masih harus
berjuang. Mereka menceritakan kejadian di hari H terjadinya gempa. Kacau,
panik, kehilangan anggota keluarga, dan sedikit humor untuk meredakan
ketegangan. Dalam hati saya, saya harusnya bersyukur, Allah sudah menyelamatkan
saya dan keluarga saya dari musibah. Allah juga mengijinkan saya mencoba
mengikuti tes beberapa perguruan tinggi ternama. Tidak semua orang punya
kesempatan yang sama. Meski kali ini gagal, saya tetap harus semangat, pasti
Allah punya rencana lain yang lebih indah.
Saya Sempat Ragu
Akhirnya tiba waktunya pengumuman PMDK UNAIR dan USM-ITB. UNAIR
juga saya tidak lolos. Tapi tanpa saya sangka, ternyata saya lolos di pilihan
pertama (Sekolah Farmasi) ITB. Senang sekali rasanya. Senang dan tenang karena
sudah mendapat tempat di perguruan tinggi. Saya bisa pede memilih
Pendidikan Dokter UGM sebagai pilihan pertama, karena saya pikir kalaupun, saya
tetap bisa kuliah di ITB.
Ketenangan itu ternyata tidak berlangsung lama. Karena setelah
membaca lebih detail lagi tentang syarat pendaftaran ulang, ternyata hari
daftar ulang bertepatan dengan hari tes SPMB. Sementara daftar ulang di ITB
tidak boleh diwakilkan oleh orang lain dengan alasan apapun. Jadi? Saya harus
memilih, ikut SPMB atau daftar ulang ITB?
Bukan Pilihan Mudah
Kalau saya memilih SPMB, saya bisa perjuangkan lagi Pendidikan
Dokter UGM. Tapi kalau meleset alias tidak lolos lagi, sementara Farmasi ITB
sudah dilepas.. ahh.. saya sulit membayangkannya. Mungkin juga jadi berat
melepasnya karena pada waktu itu Sekolah Farmasi ITB menduduki peringkat
pertama passing grade fakultas farmasi se-Indonesia.
Sementara kalau saya memilih daftar ulang Farmasi ITB, maka saya
harus menutup "buku cita-citaku" yang ingin jadi dokter itu.
Saya tidak bisa memilih sendiri. Bertanya ke Ibu saya, Ibu saya
lebih menyarankan saya ikut SPMB saja dengan pilihan ke dua sama-sama
pendidikan dokter, tapi di universitas lain yang lebih realistis. Bagi ibu
saya, jurusan pendidikan dokter adalah yang paling penting. Sementara bagi
saya, minat kepada perguruan tinggi nya juga penting.
Saya pun istikhoroh. Berkali-kali. Dan entah bagaimana ceritanya
hati saya tetap condong ke Farmasi ITB.
Setelah saya sampaikan lagi ke Ibu dan Abah, beliau berdua pun
akhirnya merestui.
Ridho Allah Bersama Ridho Orang Tua
Masuk ITB bersama ribuan mahasiswa baru dalam satu angkatan,
disambut dengan Sidang Terbuka di Sabuga.
Sempat merasa bersalah juga pada Ibu, karena tidak bisa
memenuhi harapannya. Pernah merasa kesepian juga karena keluarga nun
jauh di mato. Sempat down dan minder waktu adaptasi
dengan lingkungan dan budaya baru yang jauh beda dengan di kampung halaman.
Juga cukup kaget dengan pola belajar teman-teman sejurusan. Hahaha..
Alhamdulillah masih bisa lulus tepat waktu empat tahun kemudian
dan tambah satu tahun lagi untuk belajar di pendidikan profesi Apoteker dengan
beasiswa.
Tentunya berkat ridho Allah, doa ibu dan usaha untuk bisa
membahagiakan orang tua. Mungkin berkat ini juga, sebelum lulus saya berhasil
mendapat posisi permanen di salah satu perusahaan kosmetik besar di Indonesia.
Tiga tahun kemudian saya mencoba menceburkan diri ke dunia pelayanan farmasi di
Apotek. Meski sekarang harus off dulu dari menjadi garda depan
yang berkontribusi langsung dalam membangun kesehatan masyarakat yang berkualitas.
Dulu, mungkin saya berat move on dari cita-cita
untuk jadi dokter. Tapi ternyata sekarang saya juga berat move on dari
pekerjaan kefarmasian. Walaupun saat ini ada tanggung jawab lain yang harus
saya lakukan dan situasi membuat saya belum bisa praktek lagi, tapi menimba
ilmu dan edukasi ke masyarakat tetap bisa berlanjut. InsyaAllah tabungan
jariyah. Aamiin.
<<< Cerita sebelumnya
Penerbangan Panjang bersama Anak Satu Tahun
KenaikanBerat Badan Bayi di Bawah Minimum
Jaman Sudah Beda, Kenapa Tetap ngeBlog?
Seru ceritanya teh. Kakak saya juga lulusan Farmasi ITB, angkatan '94.
ReplyDeleteMakasih teh.. 🙏😳 wah kakak senior 😀🙌
Delete