Thursday 2 March 2017

Doaku Selalu Ada Untukmu Wahai Abah dan Ibu..

Kamis dini hari saya terbangun dari tidur karena mimpi buruk. Buruk sekali tentang orang tua saya. Sampai-sampai terbawa ke suasana hati, saya jadi sedih, istigfar dan berdoa mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Mudah-mudahan ini hanya bunga mimpi biasa karena mungkin salah posisi tidur atau... terkena tendangan maut batita selama tidur. Hh..

Belum lama sejak selesai berdoa tiba-tiba si batita juga terbangun. Merengek.. sambil memanggil-manggil babahnya. Babah adalah panggilan untuk kakeknya yang juga merupakan ayah saya. Jantung saya kembali berdebar. Mungkinkah dia juga mimpi buruk tentang babahnya? Kenapa kebetulan sekali sama.. ah.. wallahua’lam. Saya katakan padanya, “Nanti agak siang kita telepon babah sama buk ti ya..” Diapun menjawab iya lalu tampak lebih tenang dan bisa tidur lagi.

Pada saat makan siang, segala kerepotan urusan negara yang urgent semenjak bangun tidur biasanya sudah selesai. Pada saat ini juga biasanya saya dan anak agak santai untuk bisa sambil mengobrol dengan orang tua di-telepon. Kadang mereka yang menelepon lebih dulu, kadang saya, bergantian saja siapa yang lebih dulu bisa menelepon.

Kali ini saya yang menelepon duluan. Tidak diangkat. Mungkin sedang jauh dari HP atau sedang terapi. Ya, mulai minggu ini ayah saya disarankan untuk mulai fisioterapi. Semenjak kecelakaannya di awal bulan November, beliau memang belum sepenuhnya fit seperti sedia kala. Masih harus kontrol ke dokter setiap hari Senin. Masih harus minum obat karena tekanan darahnya masih sering naik, persendiannya masih sering sakit, otot kelopak matanya yang bengkak belum 100% sembuh, masih gampang lelah, pusing dan mual.

Biasanya orang tua saya akan segera menelepon balik setelah mereka membuka HP dan punya waktu untuk menelepon. Maka saya menunggu dengan tenang sambil beraktivitas seperti biasa dengan anak. Hari itu agak aneh, anak saya jadi sering sekali berceloteh menyebut-nyebut Babah dan Buk Ti (panggilannya untuk ibu saya) lebih sering dibandingkan biasanya.

Malam telah tiba. Tiba saatnya relaksasi bagi keluarga kami, pendinginan setelah “panas” seharian, bersiap-siap untuk tidur. Saat itulah saya baru sadar, orang tua saya belum menelepon balik padahal ini sudah tengah malam di Indonesia. Saya sedikit khawatir.

Keesokan harinya pun sama, telepon saya tidak diangkat dan tidak ada panggilan masuk ke HP saya dari abah dan ibu. Ada apa gerangan? Sedang sibukkah mereka? Atau paket internet habis ya? Ya, kami sambungan telepon kami memang mengandalkan internet.

Keesokan harinya, hari Sabtu, seperti biasa jadwal saya, suami, dan sekeluarga bertelepon dengan semua anggota keluarga dekat. Ibu dan ayah mertua di Malang, adik dan adik ipar di Jepang, Abah dan ibu di Wonosobo, dan kakak saya, istrinya beserta keponakan lucu saya di Tanjung Balai. Kami bertelepon satu-satu sekedar untuk menyapa, menanyakan kabar mereka, mengabarkan kesehatan kami, dan haha hihi barang sebentar. Yang paling jarang bisa tersambung via telepon adalah kakak kami di Tanjung Balai karena tinggal di kepulauan yang sinyalnya belum kuat. Hiks. Begitulah keluarga kami, sangat mengandalkan koneksi telepon dan internet untuk bersilaturahim karena semuanya berjauhan. Terutama kami yang di luar negeri, terpaksa harus absen dulu dari berkumpul saat lebaran.

Lagi-lagi hari Sabtu, ibu dan abah tidak mengangkat telepon dan tidak juga menelepon kami. Hati saya semakin bertanya-tanya.

Akhirnya di hari Minggu kami berhasil menghubungi kakak di Tanjung Balai itupun dengan suara yang tidak jernih. Entah karena koneksi di sana sedang tidak bagus atau karena HP kami lemah baterainya. Tidak tau pasti. Dan terjadilah percakapan ini..

“... nanti pas lahiran Bapak Ibu jadinya ga bisa datang ya mba?” maksud saya sebetulnya menanyakan Bapak Ibu Cilacap (Bapak dan Ibu mertua kakak saya), tapi mungkin karena suara tidak jernih kakak ipar jadi menangkap kalau yang saya tanyakan adalah Abah dan I bu. Lalu kakak ipar menjawab,”Ng.. adek udah tau belum ya? Abah sama ibu kantutt-tuut lalu telepon terputus karena hp suami saya kehabisan baterai.

Ya Allah saya dag dig dug. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja.

Kamipun kembali menelepon Ibu dan Abah dan Alhamdulillah diangkat! Saya lega sekali. Ibu terlihat sehat. Setelah saya tanyakan perihal telepon saya yang sudah tiga hari tidak diangkat, akhirnya ibu bercerita sambil terburu-buru, “Ibu kemarin habis ngantar Abah masuk rumah sakit lagi..” masuk rumah sakit?? “.. sebenernya Abah kemarin tiga malam empat hari di rumah sakit lagi.. di RSU situ deket rumah. ibu dibantuin, ditemenin sama..” ibu dibantu dan ditemani oleh sepupu-sepupu saya.

Astagfirullah... ternyata selama tidak bisa dihubungi Abah masuk rumah sakit. “Ibu ga sempat ngubungin kamu pas Abah di rumah tiba-tiba ndrodog demam.. pas kamu telepon juga ibu ga berani angkat. Takut pada khawatir.. dah gapapa yang penting sekarang Abah udah di rumah.. udah sehat.. doain terus yo tetep sehat terus...”

Saya menahan emosi bergejolak di hati saya. Sedih, merasa bersalah, ayah saya masuk rumah sakit tapi saya tidak membantu apa-apa. Bahkan taunya pun sesudah beliau di rumah. Mungkin, jika tau pun saya hanya bisa mensupport melalui telepon atau whatsapp kepada ibu saya yang sudah sangat kuat agar tetap kuat dan sabar menemani ayah saya. Hal yang lebih baik lagi hanyalah mendoakan mereka yang sejatinya insyaallah sudah selalu saya lakukan minimal setelah sholat. Tetap saya tidak bisa hadir secara fisik, membantu dengan tenaga, waktu, dan lain-lain, seperti apa yang saudara-saudara kami lakukan. Seperti apa yang harusnya seorang anak lakukan.. tapi saya tidak bisa... hadir...

Sedih.. sedih sekali..

Sambungan telepon yang baru beberapa menit itu tiba-tiba terputus karena ibu saya menerima panggilan masuk dari HP lain. Ya, kami menggunakan fasilitas video call dari Line, yang akan otomatis terputus jika ada panggilan reguler masuk ke salah satunya. Mungkin kakak menelepon ibu, pikir saya. Saya biarkan saja. Saya sudah lega mendapatkan kabar dari orang tua. Meskipun ternyata ada kabar duka yang terlambat saya ketahui, setidaknya saat ini ayah saya sudah rawat jalan dan saya sudah bisa melihat senyum keduanya di video call tadi. Cukup bagi saya.

Sekitar dua jam kemudian, saya mengajak anak bermain ke taman bermain di komplek apartemen. Di sana suami saya dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia-Leoben (orang Indonesia yang tinggal di Leoben) sudah menunggu. Mm... sudah mulai beraktivitas lebih tepatnya. Hari itu kami semua sudah janjian untuk berolahraga bersama di taman, bermain pingpong, bulutangkis, dan basket. Cari seru sekaligus sehat.

Di jalan menuju taman, saya pikir orang tua saya akan terhibur melihat cucunya asyik bermain nanti. Maka saya hubungi lagi orang tua saya. Telepon berdering.. satu menit.. tidak ada yang mengangkat. Ketika di taman, saya telepon lagi juga sudah tidak ada yang angkat. Ya sudah, mungkin sudah istirahat.

Esoknya hari Senin, suami saya sudah di kantor seperti hari kerja biasanya. Siang hari kembali saya hubungi orang tua saya. Sungguh saya ingin mengikuti perkembangan kesehatan mereka. Setelah pengalaman sebelumnya ternyata orang tua saya tidak mau mengangkat telepon karena ayah saya sedang sakit, sekarang mereka tidak mengangkat lagi saya jadi was-was. Hiks. Apalagi si batita, kembali berceloteh sedih ingin bertemu dengan Buk Uti dan Babah.

Bahkan saat belajar pipis di toilet sekalipun...

“Aqila penen main tama Buk Ti. Di Tomotobo..” (Aqila pengen main sama Buk Ti. di Wonosobo)
“Iya sayang.. nanti kita telepon Buk Ti ya..”
“Iya.. Babah tatit... Mimik obat Babah.. Aqila ambil-in obat buat Babah” (Iya.. Babah sakit.. Minum obat Babah.. Aqila ambilin obat buat Babah)

Atau percakapannya dengan ayahnya di malam hari sebelum tidur...

“Aqila mau main tama Buk Ti di Tomotobo..”
“Sama Babah juga?” tanya ayahnya.
“Ndak. Babah ladi tatit.. Aqila ambil-in obat buat Babah..” (Ndak. Babah lagi sakit.. Aqila ambilin obat buat Babah)

Saya termangu sedih di ruang makan mendengar percakapan mereka, suami saya tidak mengetahui kalau saya sedang galau karena kedua orang tua saya kembali tidak mengangkat telepon. Saya tidak ingin menularkan kegalauan padanya. Jadi saya pendam saja. Saat solat, saya menangis. Suami saya malah memeluk saya lalu meminta maaf. Dia pikir ada perkataannya yang menyinggung perasaan saya. Hadeh.. suamiku.. saya iyakan saja.. saya tidak ingin suami saya galau seperti saya mengkhawatirkan kondisi orang tua saya yang juga berarti orang tuanya. Dia harus tetap fokus pada studinya.. dia harus bisa lulus akhir tahun ini. Harus. Saya harus kuat untuk menguatkan dia. Saya pun menangis lagi.

Selasa... telepon saya masih juga tidak diangkat. Ya Allah.. mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Saya hanya bisa mendoakan dari jauh. Ya Allah mohon Engkau jagakan mereka, sehatkan mereka, sembuhkan Abah tanpa kurang suatu apapun, jangan Engkau susahkan kedua orangtua hamba ya Allah.. dan jadikanlah kesakitan mereka selama ini sebagai penggugur dosa. Bahagiakan mereka di dunia dan akhirat ya Allah...

Di titik ini saya jadi flashback. Memikirkan kembali keputusan-keputusan besar yang terjadi di masa lalu dan berandai-andai. Andaikan saya menunda resign dari pekerjaan saya waktu itu... mungkinkah saya bisa ada di sisi orang tua saya ikut menemani mereka berjuang menghadapi cobaan sakit ini? Mungkinkah saya ada di samping Ibu enam bulan lalu, ketika Abah terbaring koma tidak sadarkan diri..

Astagfirullah... lalu saya kembali istighfar dan optimis insya Allah rejeki  tidak tertukar.. insya Allah ini memang jalan yang harus keluarga saya hadapi. Insya Allah ini hanyalah ujian Allah untuk kami agar keimanan dan ketakwaan kami semakin bertambah. Insya Allah kami bisa. Insya Allah Abah akan segera sehat dan beraktivitas kembali seperti sedia kala, insya Allah.. ya Allah..

Saat ini hanya doa yang bisa aku berikan pada kalian wahai Abah dan Ibu.. tiada yang lain.. hanya doa dan support-ku.. hanya doa dan perhatianku lewat telepon ini yang aku bisa berikan. Hanya doa dan kiriman-kiriman kecil yang aku harap bisa membantu pemulihan Abah.. hanya doa.. hanya doa.. yang insya Allah akan selalu ada untukmu Abah.. Ibu.. selepas sholatku..

Terimakasih Ibu sudah jadi istri Abah yang sangat kuat. Terimakasih sudah setia merawat abah. Insya Allah kami akan pulang Ibu, sebelas bulan lagi.. akan kutemani engkau merawat abah. Insya Allah akan kulayani kalian seperti raja dan ratu.

Ujian ini.. sungguh menyadarkan saya akan pemikiran saya yang ternyata salah. Dulu.. salah satu cita-cita saya adalah saya ingin bisa sewaktu-waktu ada untuk kedua orangtua saya, karena mereka pasti membutuhkan anak-anaknya.. saya salah.. mereka memang ingin berkumpul dengan anak-cucunya selalu.. tapi nyatanya mereka bisa tanpa kami.. sementara saya.. mendengar ayah saya sakit dan berkali-kali telepon tidak terhubung hidup saya jadi berantakan.. saya jadi tidak fokus.. mudah sekali menangis.. saya yang lebih membutuhkan mereka...

Teman.. saudaraku.. sahabatku.. seandainya kalian membaca tulisan ini.. dan kalian masih diberikan rejeki, waktu, uang, tenaga, untuk bisa menemui orang tua kalian, temuilah selagi bisa.. selagi mereka masih bisa ditemui.. teleponlah mereka.. tanyakan kabar mereka setiap hari.. selagi mereka masih bisa menyahut..

Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi nanti.. seperti saya yang tidak pernah menyangka ujian ini menimpa keluarga kami. Pun saya masih bersyukur keluarga besar banyak sekali perhatiannya pada kami..

Kita mungkin memiliki orang tua dengan kondisi yang berbeda, situasi kita juga berbeda. Tapi saya yakin kita memiliki cinta yang sama besarnya kepada kedua orang tua kita masing-masing. Tunjukkanlah rasa cinta itu sebanyak-banyaknya kalian bisa. Ciptakan moment indah bersama orang tua kalian sebanyak-banyaknya kalian bisa.

Mudah-mudahan orang tua kita selalu dalam lindungan-Nya dimanapun mereka berada. Aamiin.. aamiin yra..

Leoben, 28 Februari 2017

Abah, Ibu, Keponakan, dan Kakak Ipar
Tanjung Balai Juni 2016, sekitar 3 Bulan Sebelum Kecelakaann itu Terjadi

Share:

0 comments:

Post a Comment

Disclaimer

Dear reader, Nothing is perfect, demikian juga konten di blog ini. Oleh karena itu, terimakasih untuk komentar, sharing, saran, kritik dan untuk kunjungannya ke blog saya, yang walaupun imperfect namun semoga bermanfaat. ♥ vidya ♥

Labels

Drop me a message

Name

Email *

Message *

Recent Posts

About me

Empat tahun mengenyam pendidikan S1 Sekolah Farmasi, saya melanjutkan Pendidikan Profesi Apoteker satu tahun. Alhamdulillah semuanya dilancarkan dan saya berkesempatan berkarya di dunia industri kosmetik setelah saya lulus Pendidikan Profesi. Tiga tahun berkiprah di dunia itu, saya memutuskan berhenti sementara dari dunia karir demi berkumpul dengan keluarga kecil di Leoben, Austria

Saya mengenal blog semenjak kuliah profesi. Saya memiliki blog pribadi dan bergabung menjadi author di www.apotekerbercerita.com. Sebelumnya saya hanya menumpahkan isi pikiran di diary. Namun saya baru menyadari kecintaan menulis justru setelah berada di Austria. Dengan menulis saya banyak membaca dan belajar, mengingat, belajar berkomunikasi, belajar bertanggung jawab dan akhirnya saya mengijinkan diri saya sedikit berbangga dan bahagia meskipun mungkin menurut orang itu biasa saja hihi. Saya merasa ada yang terobati setiap bisa menyelesaikan satu judul tulisan. Maka saya pikir tidak ada alasan untuk berhenti menulis.

Terimakasih kepada siapa saja yang sudah berkunjung, selamat membaca dan semoga konten webblog ini bisa bermanfaat.

Salam hangat,

Vidya