Kamis dini hari saya terbangun
dari tidur karena mimpi buruk. Buruk sekali tentang orang tua saya. Sampai-sampai
terbawa ke suasana hati, saya jadi sedih, istigfar dan berdoa mudah-mudahan
mereka baik-baik saja. Mudah-mudahan ini hanya bunga mimpi biasa karena mungkin
salah posisi tidur atau... terkena tendangan maut batita selama tidur. Hh..
Belum lama sejak selesai berdoa
tiba-tiba si batita juga terbangun. Merengek.. sambil memanggil-manggil
babahnya. Babah adalah panggilan untuk kakeknya yang juga merupakan ayah saya. Jantung
saya kembali berdebar. Mungkinkah dia juga mimpi buruk tentang babahnya? Kenapa
kebetulan sekali sama.. ah.. wallahua’lam. Saya katakan padanya, “Nanti agak
siang kita telepon babah sama buk ti ya..” Diapun menjawab iya lalu tampak
lebih tenang dan bisa tidur lagi.
Pada saat makan siang, segala
kerepotan urusan negara yang urgent semenjak bangun tidur biasanya sudah
selesai. Pada saat ini juga biasanya saya dan anak agak santai untuk bisa sambil
mengobrol dengan orang tua di-telepon. Kadang mereka yang menelepon lebih dulu,
kadang saya, bergantian saja siapa yang lebih dulu bisa menelepon.
Kali ini saya yang menelepon
duluan. Tidak diangkat. Mungkin sedang jauh dari HP atau sedang terapi. Ya,
mulai minggu ini ayah saya disarankan untuk mulai fisioterapi. Semenjak kecelakaannya
di awal bulan November, beliau memang belum sepenuhnya fit seperti sedia kala.
Masih harus kontrol ke dokter setiap hari Senin. Masih harus minum obat karena
tekanan darahnya masih sering naik, persendiannya masih sering sakit, otot kelopak
matanya yang bengkak belum 100% sembuh, masih gampang lelah, pusing dan mual.
Biasanya orang tua saya akan
segera menelepon balik setelah mereka membuka HP dan punya waktu untuk
menelepon. Maka saya menunggu dengan tenang sambil beraktivitas seperti biasa
dengan anak. Hari itu agak aneh, anak saya jadi sering sekali berceloteh
menyebut-nyebut Babah dan Buk Ti (panggilannya untuk ibu saya) lebih sering
dibandingkan biasanya.
Malam telah tiba. Tiba saatnya
relaksasi bagi keluarga kami, pendinginan setelah “panas” seharian, bersiap-siap
untuk tidur. Saat itulah saya baru sadar, orang tua saya belum menelepon balik
padahal ini sudah tengah malam di Indonesia. Saya sedikit khawatir.
Keesokan harinya pun sama,
telepon saya tidak diangkat dan tidak ada panggilan masuk ke HP saya dari abah
dan ibu. Ada apa gerangan? Sedang sibukkah mereka? Atau paket internet habis
ya? Ya, kami sambungan telepon kami memang mengandalkan internet.
Keesokan harinya, hari Sabtu, seperti
biasa jadwal saya, suami, dan sekeluarga bertelepon dengan semua anggota
keluarga dekat. Ibu dan ayah mertua di Malang, adik dan adik ipar di Jepang, Abah
dan ibu di Wonosobo, dan kakak saya, istrinya beserta keponakan lucu saya di Tanjung
Balai. Kami bertelepon satu-satu sekedar untuk menyapa, menanyakan kabar
mereka, mengabarkan kesehatan kami, dan haha hihi barang sebentar. Yang paling jarang
bisa tersambung via telepon adalah kakak kami di Tanjung Balai karena tinggal
di kepulauan yang sinyalnya belum kuat. Hiks. Begitulah keluarga kami, sangat
mengandalkan koneksi telepon dan internet untuk bersilaturahim karena semuanya
berjauhan. Terutama kami yang di luar negeri, terpaksa harus absen dulu dari berkumpul saat lebaran.
Lagi-lagi hari Sabtu, ibu dan
abah tidak mengangkat telepon dan tidak juga menelepon kami. Hati saya semakin
bertanya-tanya.
Akhirnya di hari Minggu kami berhasil
menghubungi kakak di Tanjung Balai itupun dengan suara yang tidak jernih. Entah
karena koneksi di sana sedang tidak bagus atau karena HP kami lemah baterainya.
Tidak tau pasti. Dan terjadilah percakapan ini..
“... nanti pas lahiran Bapak Ibu jadinya
ga bisa datang ya mba?” maksud saya sebetulnya menanyakan Bapak Ibu Cilacap (Bapak dan Ibu mertua kakak saya),
tapi mungkin karena suara tidak jernih kakak ipar jadi menangkap kalau yang
saya tanyakan adalah Abah dan I bu. Lalu kakak ipar menjawab,”Ng.. adek udah tau belum
ya? Abah sama ibu kan” tutt-tuut lalu telepon terputus karena hp suami saya
kehabisan baterai.
Ya Allah saya dag dig dug. Mudah-mudahan
mereka baik-baik saja.
Kamipun kembali menelepon Ibu dan
Abah dan Alhamdulillah diangkat! Saya lega sekali. Ibu terlihat sehat. Setelah saya
tanyakan perihal telepon saya yang sudah tiga hari tidak diangkat, akhirnya ibu
bercerita sambil terburu-buru, “Ibu kemarin habis ngantar Abah masuk rumah
sakit lagi..” masuk rumah sakit?? “.. sebenernya Abah kemarin tiga malam empat
hari di rumah sakit lagi.. di RSU situ deket rumah. ibu dibantuin, ditemenin sama..”
ibu dibantu dan ditemani oleh sepupu-sepupu saya.
Astagfirullah... ternyata
selama tidak bisa dihubungi Abah masuk rumah sakit. “Ibu ga sempat ngubungin
kamu pas Abah di rumah tiba-tiba ndrodog demam.. pas kamu telepon juga ibu ga
berani angkat. Takut pada khawatir.. dah gapapa yang penting sekarang Abah udah
di rumah.. udah sehat.. doain terus yo tetep sehat terus...”
Saya menahan emosi bergejolak di
hati saya. Sedih, merasa bersalah, ayah saya masuk rumah sakit tapi saya tidak membantu
apa-apa. Bahkan taunya pun sesudah beliau di rumah. Mungkin, jika tau pun saya
hanya bisa mensupport melalui telepon atau whatsapp kepada ibu saya yang sudah sangat
kuat agar tetap kuat dan sabar menemani ayah saya. Hal yang lebih baik lagi hanyalah
mendoakan mereka yang sejatinya insyaallah sudah selalu saya lakukan minimal
setelah sholat. Tetap saya tidak bisa hadir secara fisik, membantu dengan
tenaga, waktu, dan lain-lain, seperti apa yang saudara-saudara kami lakukan. Seperti apa yang
harusnya seorang anak lakukan.. tapi saya tidak bisa... hadir...
Sedih.. sedih sekali..
Sambungan telepon yang baru beberapa menit itu tiba-tiba terputus karena ibu saya menerima panggilan masuk dari HP
lain. Ya, kami menggunakan fasilitas video call dari Line, yang akan otomatis
terputus jika ada panggilan reguler masuk ke salah satunya. Mungkin kakak
menelepon ibu, pikir saya. Saya biarkan saja. Saya sudah lega mendapatkan kabar
dari orang tua. Meskipun ternyata ada kabar duka yang terlambat saya ketahui,
setidaknya saat ini ayah saya sudah rawat jalan dan saya sudah bisa melihat senyum
keduanya di video call tadi. Cukup bagi saya.
Sekitar dua jam kemudian, saya mengajak
anak bermain ke taman bermain di komplek apartemen. Di sana suami saya dan mahasiswa-mahasiswa
Indonesia-Leoben (orang Indonesia yang tinggal di Leoben) sudah menunggu. Mm...
sudah mulai beraktivitas lebih tepatnya. Hari itu kami semua sudah janjian
untuk berolahraga bersama di taman, bermain pingpong, bulutangkis, dan basket. Cari
seru sekaligus sehat.
Di jalan menuju taman, saya pikir
orang tua saya akan terhibur melihat cucunya asyik bermain nanti. Maka saya
hubungi lagi orang tua saya. Telepon berdering.. satu menit.. tidak ada yang
mengangkat. Ketika di taman, saya telepon lagi juga sudah tidak ada yang
angkat. Ya sudah, mungkin sudah istirahat.
Esoknya hari Senin, suami saya
sudah di kantor seperti hari kerja biasanya. Siang hari kembali saya hubungi
orang tua saya. Sungguh saya ingin mengikuti perkembangan kesehatan mereka. Setelah pengalaman sebelumnya ternyata orang tua saya tidak mau mengangkat telepon karena ayah saya sedang sakit, sekarang mereka tidak mengangkat lagi saya jadi was-was. Hiks. Apalagi
si batita, kembali berceloteh sedih ingin bertemu dengan Buk Uti dan Babah.
Bahkan saat belajar pipis di toilet
sekalipun...
“Aqila penen main tama Buk Ti. Di
Tomotobo..” (Aqila pengen main sama Buk Ti. di Wonosobo)
“Iya sayang.. nanti kita telepon
Buk Ti ya..”
“Iya.. Babah tatit... Mimik obat
Babah.. Aqila ambil-in obat buat Babah” (Iya.. Babah sakit.. Minum obat Babah..
Aqila ambilin obat buat Babah)
Atau percakapannya dengan ayahnya
di malam hari sebelum tidur...
“Aqila mau main tama Buk Ti di
Tomotobo..”
“Sama Babah juga?” tanya ayahnya.
“Ndak. Babah ladi tatit.. Aqila
ambil-in obat buat Babah..” (Ndak. Babah lagi sakit.. Aqila ambilin obat buat
Babah)
Saya termangu sedih di ruang
makan mendengar percakapan mereka, suami saya tidak mengetahui kalau saya
sedang galau karena kedua orang tua saya kembali tidak mengangkat telepon. Saya
tidak ingin menularkan kegalauan padanya. Jadi saya pendam saja. Saat solat,
saya menangis. Suami saya malah memeluk saya lalu meminta maaf. Dia pikir ada
perkataannya yang menyinggung perasaan saya. Hadeh.. suamiku.. saya iyakan
saja.. saya tidak ingin suami saya galau seperti saya mengkhawatirkan kondisi
orang tua saya yang juga berarti orang tuanya. Dia harus tetap fokus pada
studinya.. dia harus bisa lulus akhir tahun ini. Harus. Saya harus kuat untuk
menguatkan dia. Saya pun menangis lagi.
Selasa... telepon saya masih juga
tidak diangkat. Ya Allah.. mudah-mudahan mereka baik-baik saja. Saya hanya bisa
mendoakan dari jauh. Ya Allah mohon Engkau jagakan mereka, sehatkan mereka,
sembuhkan Abah tanpa kurang suatu apapun, jangan Engkau susahkan kedua orangtua
hamba ya Allah.. dan jadikanlah kesakitan mereka selama ini sebagai penggugur
dosa. Bahagiakan mereka di dunia dan akhirat ya Allah...
Di titik ini saya jadi flashback.
Memikirkan kembali keputusan-keputusan besar yang terjadi di masa lalu dan
berandai-andai. Andaikan saya menunda resign dari pekerjaan saya waktu itu...
mungkinkah saya bisa ada di sisi orang tua saya ikut menemani mereka berjuang
menghadapi cobaan sakit ini? Mungkinkah saya ada di samping Ibu enam bulan
lalu, ketika Abah terbaring koma tidak sadarkan diri..
Astagfirullah... lalu
saya kembali istighfar dan optimis insya Allah rejeki tidak tertukar.. insya Allah ini memang jalan
yang harus keluarga saya hadapi. Insya Allah ini hanyalah ujian Allah untuk
kami agar keimanan dan ketakwaan kami semakin bertambah. Insya Allah kami bisa.
Insya Allah Abah akan segera sehat dan beraktivitas kembali seperti sedia kala,
insya Allah.. ya Allah..
Saat ini hanya doa yang bisa aku
berikan pada kalian wahai Abah dan Ibu.. tiada yang lain.. hanya doa dan
support-ku.. hanya doa dan perhatianku lewat telepon ini yang aku bisa berikan.
Hanya doa dan kiriman-kiriman kecil yang aku harap bisa membantu pemulihan
Abah.. hanya doa.. hanya doa.. yang insya Allah akan selalu ada untukmu Abah..
Ibu.. selepas sholatku..
Terimakasih Ibu sudah jadi istri Abah yang sangat kuat. Terimakasih sudah setia merawat abah. Insya Allah kami akan
pulang Ibu, sebelas bulan lagi.. akan kutemani engkau merawat abah. Insya Allah
akan kulayani kalian seperti raja dan ratu.
Ujian ini.. sungguh menyadarkan
saya akan pemikiran saya yang ternyata salah. Dulu.. salah satu cita-cita saya
adalah saya ingin bisa sewaktu-waktu ada untuk kedua orangtua saya, karena
mereka pasti membutuhkan anak-anaknya.. saya salah.. mereka memang ingin
berkumpul dengan anak-cucunya selalu.. tapi nyatanya mereka bisa tanpa kami.. sementara
saya.. mendengar ayah saya sakit dan berkali-kali telepon tidak terhubung hidup
saya jadi berantakan.. saya jadi tidak fokus.. mudah sekali menangis.. saya
yang lebih membutuhkan mereka...
Teman.. saudaraku.. sahabatku.. seandainya kalian membaca tulisan
ini.. dan kalian masih diberikan rejeki, waktu, uang, tenaga, untuk bisa
menemui orang tua kalian, temuilah selagi bisa.. selagi mereka masih bisa
ditemui.. teleponlah mereka.. tanyakan kabar mereka setiap hari.. selagi mereka
masih bisa menyahut..
Kita tidak pernah tau apa yang
akan terjadi nanti.. seperti saya yang tidak pernah menyangka ujian ini menimpa
keluarga kami. Pun saya masih bersyukur keluarga besar banyak sekali
perhatiannya pada kami..
Kita mungkin memiliki orang tua
dengan kondisi yang berbeda, situasi kita juga berbeda. Tapi saya yakin kita
memiliki cinta yang sama besarnya kepada kedua orang tua kita masing-masing. Tunjukkanlah rasa
cinta itu sebanyak-banyaknya kalian bisa. Ciptakan moment indah bersama orang tua
kalian sebanyak-banyaknya kalian bisa.
Mudah-mudahan orang tua kita
selalu dalam lindungan-Nya dimanapun mereka berada. Aamiin.. aamiin yra..
Leoben, 28 Februari 2017
|
Abah, Ibu, Keponakan, dan Kakak Ipar
Tanjung Balai Juni 2016, sekitar 3 Bulan Sebelum Kecelakaann itu Terjadi |