Suatu hari saya membaca sebuah
status emosional yang kebetulan muncul di timeline facebook saya. Seseorang
sedang menyatakan untuk say no pada vaksin dan mengajak teman-temannya untuk
juga tidak usah mengimunisasikan anaknya. Dia baru saja memutuskan anak kedua
dan ketiganya untuk tidak diimunisasi sama sekali, alasannya karena anak
pertamanya baru saja terkena hepatitis B padahal sudah pernah diimunisasi.
Vaksin saat ini berkembang
semakin banyak jenisnya. Saya amati banyak sekali orang tua muda yang
bertanya-tanya, apakah buah hatinya harus diimunisasi lengkap atau tidak. Salah
satu penyebab kebingungan adalah karena adanya kelompok vaksin wajib (yang
disubsidi oleh pemerintah) dan vaksin tidak wajib tapi direkomendasikan oleh
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Ada juga orang tua yang pernah bertanya-tanya,
jangan-jangan vaksin kini tak lain hanyalah produk “bisnis”. Sebagian lagi karena
khawatir akan keamanan vaksin. Ini soalnya buah hati ya. Sayapun punya anak
sehingga bisa merasakan betapa ingin memberikan perlindungan terbaik untuk buah
hati. Tapi manakah yang terbaik, imunisasi atau tidak?
Dear ayah bunda, tetap tenang dan
tidak perlu bingung. Untuk memantapkan hati kita cukup perlu merefresh lagi
pemahaman kita tentang vaksin dan menggali informasi sedalam-dalamnya. Bisa
dengan berkonsultasi secara langsung kepada praktisi kesehatan yang dipercaya
atau mengulik sendiri informasi yang valid tentang vaksin dari media. Namun
hati-hati dalam memilih media. Sebaiknya pilihlah media yang sudah jelas
terpercaya, misalnya jika dari internet, website resmi Ikatan Dokter AnakIndonesia atau website Biofarma (produsen vaksin milik negara Indonesia). Atau
website lain dengan domain ".gov" atau ".org". Sebetulnya informasi lengkap tentang
setiap vaksin (hingga ringkasan laporan hasil penelitiannya) bisa juga diunduh
dengan mudah di website resmi WHO. Hanya memang menggunakan bahasa Inggris.
Mengapa imunisasi itu perlu?
Imunisasi adalah cara untuk memancing respon imun tubuh, agar memiliki
kekebalan alami terhadap infeksi pernyakit tertentu. Jika suatu saat nanti
ternyata bakteri atau virus penyebab infeksi memapar tubuh, tubuh sudah siap
dengan antibodi alaminya untuk melawan paparan bakteri atau virus tersebut.
Sehingga tubuh terhindar dari infeksi atau kalaupun sakit, tidak separah jika
infeksi datang sebelum kita diimunisasi.
Kemajuan teknologi juga berefek
pada meningkatnya imigrasi (perpindahan penduduk). Ingat bahwa, berpindahnya
seseorang dari suatu daerah ke daerah sangat mungkin membawa serta bakteri atau
virus yang endemik di daerah sebelumnya.
Anak-anak usia sekolah paling rentan terinfeksi karena sistem imunnya umumnya belum sesiap kita
orang dewasa. Mereka bisa mendapatkan infeksi dari mana saja, lingkungan
sekolah (temannya yang terlebih dahulu terinfeksi misalnya), di jalan,
lingkungan bergaul di sekitar rumah, dan sebagainya. Mereka juga sangat mungkin
menularkan pada anak-anak pra sekolah dan anak-anak lebih muda yang belum
diimunisasi ataupun memang belum waktunya diimunisasi.
Hampir semua vaksin yang sudah
ada di dunia ini adalah vaksin untuk mencegah infeksi penyakit serius, yang
bisa berdampak pada gejala sakit parah, kecacatan, atau bahkan kematian.
Pertimbangkan juga 3 hal di bawah ini jika Ayah Bunda belum mantap untuk mengimunisasikan buah hatinya
Dalam memantapkan diri untuk
mengimunisasikan buah hati, biasanya hal-hal berikut ini yang dipertimbangkan :
1. 1. Masalah
Keamanan dan Mutu Vaksin
Jika kekhawatiran ayah dan ibu
adalah masalah keamanan, maka sesungguhnya ayah dan ibu tidak perlu khawatir
karena vaksin yang resmi aman untuk digunakan.
Vaksin baru sebelum digunakan
oleh masyarakat sudah diteliti selama bertahun-tahun dan juga terus di-review
dengan hati-hati oleh para ilmuwan, dokter, pemerintah, dan lembaga kesehatan
dunia untuk memastikan keamanannya. Total waktu penelitian ini bisa memerlukan waktu hingga 12
tahunan.
Proses produksi vaksin juga harus
mengikuti regulasi Cara Pembuatan Obat yang Baik yang terstandarisasi dan
mengacu pada Good Manufacturing Process yang juga dilakukan di negara-negara
maju di dunia. ini dilakukan agar kualitas vaksin terjaga. Sebelum diedarkan,
setiap lot produk vaksin harus lulus uji mutu (Quality Control) dan uji jaminan mutu (Quality Assurance) yang
dilakukan oleh produsen vaksin, serta lulus pemeriksaan BPOM. Jadi
pengawasannya bertingkat. Setelah lulus, setiap lot vaksin akan diberi
sertifikat lulus uji oleh BPOM. Ini untuk menjaga kualitasnya.
Seperti yang sudah saya sampaikan
di atas, jika Ayah Bunda ragu, konsultasikan pada praktisi kesehatan atau mempelajari info lengkapnya di website yang terpercaya.
2. 2. Masalah
Efek Vaksin
Seperti obat,
vaksin juga mengenal efek samping dan tentunya efek yang diharapkan.
Efek samping
tiap vaksin berbeda-beda, tapi umumnya efek sampingnya minor seperti radang
pada bagian kulit yang diimunisasi atau sedikit demam selama beberapa hari
setelah imunisasi. Efek samping bisa muncul bisa tidak. Efek samping serius
yang bisa muncul seperti reaksi alergi misalnya. Oleh karena itu informasikan
juga pada dokter jika buah hati punya riwayat alergi terhadap bahan tertentu. Informasi
efek samping setiap vaksin juga bisa dipelajari di website yang terpercaya
tadi.
Sebagian orang
tua yang ragu mengimunisasikan buah hatinya juga mungkin mempertanyakan apakah
vaksin akan memberikan efek yang diharapkan. Efek yang diharapkan biasanya
disebut sebagai efikasi. Seperti sudah saya sampaikan tadi, sebelum dipasarkan,
vaksin sudah melalui tahap penelitian panjang. Di antara tahap penelitian itu,
juga bertujuan untuk melihat efikasinya. Hasil penelitian efikasi biasanya
menunjukkan persentase keberhasilannya. Misalnya persentase keberhasilannya
99%, maka dari 100 orang yang diimunisasi saat penelitian, hanya 1 yang tetap
terjangkit penyakitnya, namun umumnya lebih tidak parah dibanding jika tidak
menerima imunisasi sebelumnya. Kalau ragu, konsultasikan saja terlebih dahulu kepada
dokter.
3. 3. Masalah
Sosial, Ekonomi, dan Agama
Beberapa orang
mungkin pernah mendengar bahwa ada beberapa jenis vaksin tertentu yang dalam
prosesnya menggunakan atau bersentuhan dengan bahan yang berasal dari hewan
tertentu yang tidak diperbolehkan
oleh agama atau bertentangan dengan norma sosial.
Bersyukurlah kita yang
tinggal di Indonesia karena perusahaan vaksin milik negara Indonesia tidak menggunakan bahan yang berasal dari
hewan. Ini dinyatakan di website resminya dan juga dalam suatu kuliah yang pernah saya hadiri, Bapak Dirut Biofarma saat
itu juga menyatakan bahwa perusahaan itu menghindari menggunakan bahan yang
bertentangan dengan norma agama dan sosial masyarakat kita.
Ada satu vaksin yang beredar di Indonesia yang dalam prosesnya memang bersentuhan
dengan bagian tubuh Babi, namun pernah diklarifikasi bahwa proses itu tidak
bisa dihilangkan dan itu sudah melalui proses pembilasan berkali-kali sehingga
tidak mengandung lagi unsur Babi pada produk akhir. Untuk hal ini, MUI juga
sudah mengeluarkan fatwa bahwa untuk vaksin tersebut, hukumnya diperbolehkan,
selama belum ada penggantinya. Alhamdulillah bagi kita yang muslim dan tinggal
di Indonesia, kerja sama yang baik antara produsen vaksin, pemerintah, dan MUI
bisa memberikan ketenangan pada kita dalam menyikapi masalah vaksin ini.
Bagaimana
mempertimbangkan faktor ekonomi dalam memutuskan imunisasi atau tidak? Gampang
saja, pertimbangkan berapa biaya imunisasi yang Ayah dan Bunda perlukan untuk
jenis penyakit tertentu. Lalu bandingkan dengan kerugian kalau buah hati tidak diimunisasikan,
lalu (nauzubillahimindzalik) dia terinfeksi sebelum mendapatkan vaksin itu.
Contoh, ini
pengalaman pribadi saya sendiri. Saya tidak mengimunisasikan anak saya
rotavirus (untuk melawan virus yang menyebabkan infeksi saluran cerna,
gejalanya demam, diare dan muntah-muntah berat). Vaksin rotavirus direkomendasikan oleh IDAI tapi waktu itu belum
termasuk vaksin wajib. Saya harus membayar cukup mahal, berdekatan dengan itu,
ada imunisasi lain yang juga mahal harganya. Karena saya pikir-pikir infeksi
rotavirus itu kan hubungannya dengan higienitas, sementara saya yakin akan
higienitas lingkungan anak saya, sehingga saya putuskan untuk tidak
mengimunisasikan anak saya rotavirus.
Sekitar 1,5
tahun kemudian, di negara yang berbeda, di Austria, ternyata anak saya terkena
infeksi virus ini. Sumbernya tidak disangka-sangka, akibat kontak dengan
temannya yang ternyata sedang terserang virus ini di hari pertama, sementara
orang tuanya belum menyadarinya.
Anak saya berumur 2 tahun, dia harus dirawat
di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu. Temannya tidak harus dirawat di
rumah sakit, dia sudah pernah mendapatkan imunisasi ini dan umurnya juga 1
tahun lebih besar.
Total biaya rumah sakit yang harus kami keluarkan kurang
lebih 3 kali lipat biaya imunisasi vaksin rotavirus, padahal ini sudah dibantu
dengan asuransi. Belum kerugian waktu. Anak kami kehilangan waktu bermain,
bereksplorasi, sebaliknya dia tergolek lemah di rumah sakit. Selama satu minggu
saya ikut tinggal di rumah sakit karena anak saya tidak mau lepas dari saya. Di
malam hari hanya saya sendiri yang menemani anak saya karena memang sudah
ketentuan dari rumah sakit, hanya satu orang yang boelh menemani. Suami saya di
siang hari ijin tidak ke kantor karena jelas kepikiran anaknya yang dirawat di
rs, sementara kami bertiga jauh dari keluarga besar. Belum lagi energi yang
dikeluarkan, stress, dan juga menyita pikiran keluarga besar. Sepulang anak
saya dari RS, gantian suami yang terkena virus ini. Pada saat itu saya dan
pihak RS juga menyesalkan anak saya tidak diimunisasi rotavirus. Sejak saat itu
betul-betul deh ya, saya bertekad untuk memperjuangkan anak saya mendapatkan
semua imunisasi yang sudah ada..
Sekarang, yuk sama-sama jadi
masyarakat yang bijak dalam menyikapi vaksin. Jangan dulu katakan tidak pada
imunisasi sebelum mempertimbangkan ketiga aspek di atas. Meskipun pada akhirnya
keputusan ada pada masing-masing, namun sebaiknya dipertimbangkan juga matang-matang
termasuk untung dan ruginya.
Keputusan untuk tidak
mengimunisasikan anak terutama untuk vaksin-vaksin yang mencegah penyakit
serius ini sama artinya dengan membiarkan anak dan siapapun di sekitarnya untuk
terinfeksi penyakit serius. Iya, masalah sakit sudah diatur oleh Allah. Namun
berikhtiar untuk tidak terserang penyakit adalah kewajiban kita. Imunisasi
adalah salah satu pilihan jalan untuk ikhtiar itu.
Baca juga : Mengapa Perlu Mengisi Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Hendak Ke Luar Negeri, Perlukah Vaksinasi TBE, Mengenal Kuman alias Pathogen si Biang Penyakit
0 comments:
Post a Comment